Sunday, March 16, 2014

Pernikahan

Aku duduk bersama sebuah meja bundar dan dua cangkir kopi di atasnya. Satu milikku, satu lagi sengaja kupesan untuk orang yang sedang kutunggu.
Dia datang. “Aku ada kelas 30 menit lagi.” Ia tidak ingin terlalu lama bersamaku. Aku tau maksud kalimat itu. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku?” tanyanya. Dingin. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.
Aku diam. Entahlah, aku juga tidak mengerti. Jujur saja, apa yang ingin kuutarakan, aku tau, sampai kapan pun tak akan pernah bisa kuutarakan. Jadi aku tak tahu mengapa aku menyuruhnya datang.
Ia duduk di depanku. “Kopi untukku?” tanyanya.
Aku menangguk.
Ia membuka tutup gelas kopinya dan menyeruput minuman yang sudah hampir dingin itu. Ia lalu menghela nafas dan menatapku.

Aku diam. Benar-benar diam. Tidak bergerak sedikitpun bahkan sekedar mengalihkan pandanganku dari matanya. Kutatap dalam mata yang tengah bertemu dengan mataku itu. Mata yang dulu begitu hangat dan menyenangkan. Pandangan yang selalu membuatku merasa nyaman.
Ia mengalihkan tatapannya seraya melihat-lihat sekitar. Lampu besar berbentuk nama kafe yang dulu sering kami jadikan latar belakang foto. Kasir kafe yang juga masih sama saat terakhir kali kami datang berdua dan memesan masing-masing tiga cangkir greentea latte hingga mual-mual. Pria tua yang selalu duduk di sudut dan membaca koran yang sama setiap harinya. Ia tiba-tiba tersenyum. Kukira ia tersenyum karena mengingat apa yang sedang kuingat, sampai aku melihat seorang anak berusia enam tahun yang lewat dan memberikan senyum padanya. Ah, ia memang tersenyum pada siapa pun.
Adisya, apa kau masih mengingat tempat ini? Apa kau masih menyimpan memori persahabatan kita di sini? Apa kau sudah melupakan semuanya? Apa kau tidak ingin lagi menjadi sahabatku? Apa kau marah? Apa kau benci padaku? Apa kau akan datang ke pernikahanku? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi terlalu sedikit keberanian yang kupunya. Sedikit. Sangat sedikit. Bahkan nyaris mendekati nol.
Ia meletakkan gelasnya di tengah meja setelah menyeruput kopinya sekali lagi. Ia lalu merebahkan kepala dengan dialasi lengan kanannya di meja. Bosan. Ia bersenandung pelan. Entah menyanyikan lagu apa. Atau mungkin saja melantunkan kutukan-kutukan secara samar.
Aku meraih gelasku dan meminum kopi yang entah mengapa terasa sangat pahit itu.
Perempuan di depanku mengangkat kepalanya. Ia lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Aku harus pergi,” ucapnya.
Aku mengangguk pelan. Meski aku masih ingin ia berada di depanku, tapi aku tidak punya alasan untuk menahannya. Jujur saja, dibanding ingin mengajukan pertanyaan padanya, aku lebih ingin berada di sampingnya. Paling tidak sebelum hari pernikahanku. Empat belas hari terhitung mulai ini.
Lagi, ia menatapku. Kali ini jauh lebih dalam dari sebelumnya. Tatapannya dingin. Entah memang dingin, atau aku saja yang sudah takut akan diperlakukan seperti itu olehnya.
“Kau baik-baik saja?” tiba-tiba ia bersuara.
“Ya?” aku tersentak.
“Harus menikah di usia sedini ini, kau baik-baik saja?”
Susah payah, aku tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalaku yang tiba-tiba saja terasa kaku. Aku tidak masalah dengan pernikahan itu, sejujurnya. Hanya saja aku selalu merasa seperti narapidana setiap kali mengingat Adisya dan bagaimana aku mengecewakannya.
“Kau… baik-baik saja?” akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang sama sekali tidak ada dalam daftar pertanyaan di kepalaku.
“Aku?” Ia tertawa. “Asalkan cintamu untuknya lebih besar dari yang kupunya, dan kau memperlakukannya lebih baik dari yang kulakukan, aku tidak apa-apa,” ia berujar ringan, seolah tengah menjelaskan bus mana yang harus kutumpangi agar sampai ke gedung olah raga tempat pengambilan nilai saat SMA dulu. “Bukankah seharusnya aku senang jika dua orang yang kusayangi… maksudku kalian berdua bisa hidup bersama dan saling menjaga satu sama lain? Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan tentangku,” ia melanjutkan, lalu tersenyum.
Aku diam. Mencerna kata demi kata yang ia ucapkan. Tak ada satu kata pun yang kuyakini kebenarannya. Ah, kecuali bagian saat ia meralat tentang aku dan calon suamiku adalah orang yang ia sayangi.
“Apa calon pengantin boleh bermuka muram seperti itu?” ia meledek. “Kalau kau merasa bersalah, tebuslah dengan hidup baik-baik dan bahagia.” Ia mengakiri kalimatnya dengan sebuah senyuman, sebelum setelah itu bangun dari tempat duduknya. “Aku tidak boleh masuk kelas jika telat lebih dari 30 menit. Aku pergi.” Ia lalu memutar badan dan mulai melangkahkan kakinya menjauhi meja bundar di depanku.
“Adisya!” Meski kusadari aku tidak lagi berhak menyebut namanya, tapi mulutku memanggilnya begitu aja.
Ia menoleh dan mengangkat kedua alisnya.
“Kau… akan datang ke pernikahanku?” tanyaku hati-hati. Penyesalan tiba-tiba membanjiri dadaku satu detik kemudian. Apa aku pantas meminta ia datang? Ah, bodoh sekali.
Adisya tersenyum. “Akan kuusahakan,” jawabnya, lalu kembali melangkah pergi meninggalkanku.
Kulihat ia mengepal kencang telapak tangan kanannya. Menahan kesal, kuyakin. Kuharap ia kembali dan meninjuku sekarang juga. Sungguh.

***

Aku tengah duduk di sofa ruang tengah bersama suamiku sambil menyaksikan pertandingan sepak bola antara klub kesukaanku melawan klub jagoan suamiku. Sebenarnya klub yang sama seperti yang Adisya suka. Ya, mereka menyukali klub bola yang sama. Adisya sering bercerita, mereka selalu menyaksikan pertandingan klub favorit mereka bersama-sama.
Tiba-tiba cahaya di televisi padam. Tivi dimatikan.
“Kenapa dimatikan?” tanyaku.
“Kau tidak menyaksikan pertandingan,” jawabnya. “Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Aku menghela nafas dan menyandarkan kepalaku di bahunya. “Hem,” jawabku.
“Adisya?” tebaknya.
“Sebenarnya, kemarin aku datang ke kampusnya dan menemui klub fotografi fakultasnya. Mereka bilang tidak ada kegiatan ke luar kota selama satu minggu. Kurasa itu hanya alasan untuk tidak menghadiri pernikahan kita,” paparku.
“Kau benar-benar ingin ia hadir?”
Aku menitikkan air mata. “Entah,” jawabku lirih. Bohong jika aku bilang tidak, tapi terlalu jahat jika aku bilang iya,” lanjutku.
“Siapa bilang aku pergi bersama klub fotografi kampus?” tiba-tiba suara itu muncul dari belakangku.
Aku terkejut. Refleks, kuangkat kepalaku dan menoleh ke arah sumber suara itu.
Adisya di sana, dengan kamera menggantung di lehernya dan koper berwarna biru muda di tangan kanannya. “Aku pergi bersama komunitas fotografi kota,” lanjutnya. Ia lalu berjalan menuju kamar sambil menyeret kopernya, melewati aku dan ayahnya begitu saja. “Ah,” tiba-tiba ia menoleh. “Selamat atas pernikahan kalian. Akan kucarikan hadiah jika aku punya waktu,” ucapnya sebelum setelah itu masuk ke kamarnya dan membanting pintu.

Suamiku mendengus kesal, ia berdiri dengan wajah merah penuh amarah. Aku menahannya. Kugenggam tangannya dengan tangan kananku, dan kuhapus air mata yang jatuh di pipiku dengan tanganku yang lain.

2 comments:

  1. bentar. ini maksudnya...... itu.........
    KATA SIAPA TWISTNYA KETEBAK?

    itu maksudnya bapanya Adisya kan? sial aku pikir mereka cuma sahabatan doang bertiga.
    Damn. IT'S WORTH THE WAIT.

    P.s kill me now, please. it's too dark, but it's good!

    ReplyDelete
  2. sakit banget ya kal aku juga sakit banget ((gak tau sebagai yang mana pokoknya rasanya sakit banget))))

    #tapi #ini #bukan #basedontruestory #kok

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.