Friday, November 9, 2012

Karena Terima Kasih Itu Sakral

Pagi ini aku membuka lagi akun twitterku, setelah selama satu minggu mengabaikannya. Aku terlalu sibuk sepekan kemarin. Sibuk mengurusi masalah hati. Belum sempat memikirkan akan berkicau apa, aku menemukan salah satu status teman virtualku. Begini bunyinya:

@imyoonique: Taeyeon's quote that I love the most: "Between people who truly care and love each other, there are times where you don't need to say anything at all. Those emotions that are hard to express with words. Things like "I love you" and "Thank you," you don't really need to say those words." - Kim Taeyeon (Taeyeon's Chin Chin Radio, 13th January 2009).

Jujur, aku tak sama sekali mengenal nama itu. Kim Taeyeon. Tapi dia pasti orang Korea, mungkin Korea Selatan, atau bahkan Korea Utara, atau mungkin orang itu tinggal di perbatasan antara keduanya. Entahlah. Aku tidak terlalu memerdulikannya. Tapi aku suka kutipan itu. Ya, aku setuju dengan apa yang dikatakan manusia bernama Kim Taeyeon ini (jujur aku tidak tau itu nama laki-laki atau perempuan).
Aku pernah membaca di… entah di mana, mungkin di sebuah sticker yang ditempel di angkutan umum, katanya, teman yang sesungguhnya teman adalah orang yang kau bisa duduk lama bersamanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tapi kau merasa nyaman dalam kediaman itu. Lagi-lagi aku setuju.
Karena itulah yang sering kulakukan bersama sahabatku, Anjani.
Mungkin sudah terlalu banyak yang kita bagi bersama. Segala macam cerita pernah kuutarakan di depan wajahnya, dan begitu juga sebaliknya. Kurasa kami sudah saling sangat mengerti. Aku tak perlu bercerita panjang lebar tentang terjadi perang pring terbang saat ayah dan ibuku bertengkar di rumah. Aku tak perlu memberi penjabaran tentang teman satu kelompok yang selalu menuntutku mengerjakan bagiannya. Aku tak perlu memberikan buku diaryku padanya. Well, sebenernya aku gak punya buku diary sih. Intinya, aku tak perlu melakukan itu semua, karena kapanpun aku sedang memiliki masalah, aku hanya perlu datang padanya, duduk disampingnya, dan saat itu juga merasa nyaman dan aman di saat yang bersamaan.
Ucapan ‘sayang,’ ‘terima kasih,’ dan ‘maaf,’ bagiku itu sakral. Aku bisa menghitung berapa kali aku mengucapkan maaf pada Jani, meskipun tak jarang aku membuatnya marah karena datang pukul 10 setelah semalam kami berjanji bertemu pukul 7. Aku juga sangat jarang mengucapkan kata terima kasih, walaupun Jani adalah sahabat yang paling memiliki tempat dalam hatiku. Dan terlebih kata sayang, aku tidak pernah mengucapkannya sama sekali. Kenapa aku harus mengucapkannya? Aku justru merasa geli setiap mengingat kata itu. Tapi Jani dapat dikatakan sebagai sebagian besar takdirku, sosok yang paling berarti dalam hidupku, lalu apa mungkin aku tidak menyayanginya?

Between people who truly care and love each other, there are times where you don't need to say anything at all.

Seperti saat ini. Kami duduk bersebelahan di tepi tempat tidur Jani, menghadap ke jendela yang digoda sinar matahari senja. Aku diam. Anjani pun diam. Sebenarnya banyak hal yang ingin kuutarakan padanya. Salah satunya adalah tentang kejadian minggu lalu, saat aku membentaknya hanya karena ia bercanda sambil tak henti menggelitiki pinggangku. Aku sedang sangat emosi saat itu, dan tanpa kusadari kata-kata yang tidak selayaknya kuucapkan keluar menyemprot wajahnya. Sudah satu minggu kutahan, ingin sekali kukatakan bahwa aku tidak serius memakinya seperti itu saat itu. Saat ini aku tidak merasa harus meminta maaf, karena kutau Jani sudah memaafkanku. Kalaupun aku mengucapkan kata maaf, paling-paling ia akan bilang “Maaf buat apa? Marah sama lo aja gue gak pernah. Gak usah ngelawak deh, Ta!” Ah, Jani…. Mungkin memang seperti itulah sahabat, tidak pernah memaafkan karena merasa tidak pernah ada hal yang harus dimaafkan.
Ini bukan yang pertama kali kami berada dekat seperti ini tanpa membicarakan hal apapun. Aku sering makan malam bersamanya, dan hanya ada suara sendok yang bercengkrama dengan piring dan menciptakan dentingan berirama yang etah mengapa terdengar sangat indah. Kami juga pernah berjalan di bawah hujan hanya dengan satu payung dan membiarkan rintik air menguasai ruang cakap diantara kami. Dan masih banyak lagi. Kami bukan pendiam, hanya saja inilah cara kami berkomunikasi.
“Ta,” Jani memanggilku.
“Ya?” sahutku.
“Gue dikasih tau Agil, kejadian minggu lalu…” Jani menggantung kalimatnya. Sudah kutebak, hati kami sama-sama memikirkan hal yang sama. Ini bukan yang pertama.
Aku menunduk.
Jani menoleh kearahku, membuatku refleks menatap wajahnya. “Gue gak marah,” ucapnya menjawab pertanyaan yang bahkan belum kulontarkan. Ia lalu tersenyum. “Saat orang lagi emosi, biasanya dia jujur kan, ya?” tanyanya, entah pada siapa, mungkin padaku, atau pada jendela itu.
“Jan…” ingin rasanya aku bicara banyak tentang bahwa aku tak serius tentang makian minggu lalu. Ingin rasanya aku meneriakkan kata maaf seribu kali di telinganya. Tapi itu bukan tipeku, itu bukan tipe persahabatan kami.
“Makasih ya, Ta, selama bertahun-tahun lo bersedia jadi temen buat cewek tuli yang aneh, nyebelin, nyusahin, dan sampah kayak gue,” tutur Jani. “Lo pasti stress banget setiap hari ngurusin gue. Makasih, Ta,” tambahnya. Lagi-lagi Jani tersenyum, kali ini dilengkapi dengan titik air yang menggenang di ujung kantung matanya.
Kurasa ini pertama kalinya aku mendengar kata terima kasih keluar dari bibirnya. Dan aku tak pernah menyangka bahwa dua kata itu bisa terasa semenyakitkan ini. Seperti ingin melarikan diri ke kantor polisi, meminta siapapun untuk menghukumku belasan tahun di penjara, dari pada harus merasakan rasa bersalah seperti ini. Aku... merasa sangat bodoh.

And "Thank you,” you don't really need to say those words.

Sepertinya kau belum menyelesaikan kalimatmu, Taeyeon-ssi. Tapi aku mengerti sekarang. Dan, terima kasih.

3 comments:

  1. ini curhatan. oke fix. haha.

    bagus dan berbeda dari yang lain. kok bisa sih kamu ganti-ganti genre?!

    endingnya semacam ingin mendekam di penjara.

    ReplyDelete
  2. Dimana letak curhatannya? -_- Ini namanya cerita sekelebat. Muncul gitu aja, jadi ya jadinya gini aja.

    Aku lagi marahan sama genreku mungkin. Padahal awalnya udah super duper tragic ending. Tapi belok dan lagi-lagi garing ending gak apa-apa lah ah. haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. endingnya ngga garing kok! malah lebih apa ya, heartbreaking aja.

      padahal aku mikirnya jani bener2 ngerti kalo itu cuma candaan si 'Ta'. oemge.

      Delete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.