Pagi ini aku membuka lagi akun twitterku, setelah selama satu minggu
mengabaikannya. Aku terlalu sibuk sepekan kemarin. Sibuk mengurusi masalah hati.
Belum sempat memikirkan akan berkicau apa, aku menemukan salah satu status
teman virtualku. Begini bunyinya:
@imyoonique: Taeyeon's quote that I love the most: "Between people
who truly care and love each other, there are times where you don't need to say
anything at all. Those emotions that are hard to express with words. Things
like "I love you" and "Thank you," you don't really need
to say those words." - Kim Taeyeon (Taeyeon's Chin Chin Radio, 13th
January 2009).
Jujur,
aku tak sama sekali mengenal nama itu. Kim Taeyeon. Tapi dia pasti orang Korea,
mungkin Korea Selatan, atau bahkan Korea Utara, atau mungkin orang itu tinggal di
perbatasan antara keduanya. Entahlah. Aku tidak terlalu memerdulikannya. Tapi aku
suka kutipan itu. Ya, aku setuju dengan apa yang dikatakan manusia bernama Kim
Taeyeon ini (jujur aku tidak tau itu nama laki-laki atau perempuan).
Aku
pernah membaca di… entah di mana, mungkin di sebuah sticker yang ditempel di angkutan umum, katanya, teman yang
sesungguhnya teman adalah orang yang kau bisa duduk lama bersamanya tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun, tapi kau merasa nyaman dalam kediaman itu. Lagi-lagi
aku setuju.
Karena
itulah yang sering kulakukan bersama sahabatku, Anjani.
Mungkin
sudah terlalu banyak yang kita bagi bersama. Segala macam cerita pernah
kuutarakan di depan wajahnya, dan begitu juga sebaliknya. Kurasa kami sudah
saling sangat mengerti. Aku tak perlu bercerita panjang lebar tentang terjadi
perang pring terbang saat ayah dan ibuku bertengkar di rumah. Aku tak perlu memberi
penjabaran tentang teman satu kelompok yang selalu menuntutku mengerjakan
bagiannya. Aku tak perlu memberikan buku diaryku
padanya. Well, sebenernya aku gak
punya buku diary sih. Intinya, aku
tak perlu melakukan itu semua, karena kapanpun aku sedang memiliki masalah, aku
hanya perlu datang padanya, duduk disampingnya, dan saat itu juga merasa nyaman
dan aman di saat yang bersamaan.
Ucapan
‘sayang,’ ‘terima kasih,’ dan ‘maaf,’ bagiku itu sakral. Aku bisa menghitung
berapa kali aku mengucapkan maaf pada Jani, meskipun tak jarang aku membuatnya
marah karena datang pukul 10 setelah semalam kami berjanji bertemu pukul 7. Aku
juga sangat jarang mengucapkan kata terima kasih, walaupun Jani adalah sahabat
yang paling memiliki tempat dalam hatiku. Dan terlebih kata sayang, aku tidak
pernah mengucapkannya sama sekali. Kenapa aku harus mengucapkannya? Aku justru
merasa geli setiap mengingat kata itu. Tapi Jani dapat dikatakan sebagai
sebagian besar takdirku, sosok yang paling berarti dalam hidupku, lalu apa
mungkin aku tidak menyayanginya?
Between people who truly care and love each other, there are times where you don't need to say anything at all.
Seperti
saat ini. Kami duduk bersebelahan di tepi tempat tidur Jani, menghadap ke
jendela yang digoda sinar matahari senja. Aku diam. Anjani pun diam. Sebenarnya
banyak hal yang ingin kuutarakan padanya. Salah satunya adalah tentang kejadian
minggu lalu, saat aku membentaknya hanya karena ia bercanda sambil tak henti
menggelitiki pinggangku. Aku sedang sangat emosi saat itu, dan tanpa kusadari
kata-kata yang tidak selayaknya kuucapkan keluar menyemprot wajahnya. Sudah satu
minggu kutahan, ingin sekali kukatakan bahwa aku tidak serius memakinya seperti
itu saat itu. Saat ini aku tidak merasa harus meminta maaf, karena kutau Jani
sudah memaafkanku. Kalaupun aku mengucapkan kata maaf, paling-paling ia akan
bilang “Maaf buat apa? Marah sama lo aja
gue gak pernah. Gak usah ngelawak deh, Ta!” Ah, Jani…. Mungkin memang
seperti itulah sahabat, tidak pernah memaafkan karena merasa tidak pernah ada
hal yang harus dimaafkan.
Ini bukan
yang pertama kali kami berada dekat seperti ini tanpa membicarakan hal apapun. Aku
sering makan malam bersamanya, dan hanya ada suara sendok yang bercengkrama
dengan piring dan menciptakan dentingan berirama yang etah mengapa terdengar
sangat indah. Kami juga pernah berjalan di bawah hujan hanya dengan satu payung
dan membiarkan rintik air menguasai ruang cakap diantara kami. Dan masih banyak
lagi. Kami bukan pendiam, hanya saja inilah cara kami berkomunikasi.
“Ta,”
Jani memanggilku.
“Ya?” sahutku.
“Gue
dikasih tau Agil, kejadian minggu lalu…” Jani menggantung kalimatnya. Sudah
kutebak, hati kami sama-sama memikirkan hal yang sama. Ini bukan yang pertama.
Aku
menunduk.
Jani menoleh kearahku, membuatku refleks menatap
wajahnya. “Gue gak marah,” ucapnya menjawab pertanyaan yang bahkan belum
kulontarkan. Ia lalu tersenyum. “Saat orang lagi emosi, biasanya dia jujur kan,
ya?” tanyanya, entah pada siapa, mungkin padaku, atau pada jendela itu.
“Jan…” ingin rasanya aku bicara banyak tentang bahwa
aku tak serius tentang makian minggu lalu. Ingin rasanya aku meneriakkan kata
maaf seribu kali di telinganya. Tapi itu bukan tipeku, itu bukan tipe
persahabatan kami.
“Makasih ya, Ta, selama bertahun-tahun lo bersedia jadi
temen buat cewek tuli yang aneh, nyebelin, nyusahin, dan sampah kayak gue,”
tutur Jani. “Lo pasti stress banget
setiap hari ngurusin gue. Makasih, Ta,” tambahnya. Lagi-lagi Jani tersenyum,
kali ini dilengkapi dengan titik air yang menggenang di ujung kantung matanya.
Kurasa ini pertama kalinya aku mendengar kata terima
kasih keluar dari bibirnya. Dan aku tak pernah menyangka bahwa dua kata itu
bisa terasa semenyakitkan ini. Seperti ingin melarikan diri ke kantor polisi,
meminta siapapun untuk menghukumku belasan tahun di penjara, dari pada harus
merasakan rasa bersalah seperti ini. Aku... merasa sangat bodoh.
And "Thank you,” you don't really need to say those words.
Sepertinya
kau belum menyelesaikan kalimatmu, Taeyeon-ssi. Tapi aku mengerti sekarang. Dan, terima kasih.
ini curhatan. oke fix. haha.
ReplyDeletebagus dan berbeda dari yang lain. kok bisa sih kamu ganti-ganti genre?!
endingnya semacam ingin mendekam di penjara.
Dimana letak curhatannya? -_- Ini namanya cerita sekelebat. Muncul gitu aja, jadi ya jadinya gini aja.
ReplyDeleteAku lagi marahan sama genreku mungkin. Padahal awalnya udah super duper tragic ending. Tapi belok dan lagi-lagi garing ending gak apa-apa lah ah. haha.
endingnya ngga garing kok! malah lebih apa ya, heartbreaking aja.
Deletepadahal aku mikirnya jani bener2 ngerti kalo itu cuma candaan si 'Ta'. oemge.