Namaku Dion, dan perempuan yang sedang menangis
di sampingku adalah Safira. Kau bisa memanggilnya Fira, atau Safi dengan aksen
Sunda jika kau sedang kesal padanya. SAPI!!!
Pertunjukan selesai, tirai panggung ditutup,
dan lampu teater dinyalakan. Wajah Fira benar-benar banjir air mata. Lebih
menyeramkan dari yang kukira. Aku mengernyit. “Kenapa nangis? Ini kan, cuma drama!”
ucapku sambil berdiri.
Fira ikut berdiri. “Kan, sedih Yon,” jawabnya
sambil mengusap-usap wajahnya.
Lebay banget.
“Tapi tetep aja cuma drama!”
“Walaupun drama, tetep aja sedih!” ia memelototiku.
Seram.
“Lo belum ngasih tau gue alesan jelas kenapa lo pegat sama Razka loh, Fir,” ucapku sambil berjalan menuju coffee shop yang berada di seberang gedung kesenian kota tempatku baru saja menamani Fira menyaksikan pertunjukan drama yang kata Fira sih, nyentuh banget. Aku bermain game hampir di sepanjang pertunjukan. Ssstt, jangan beri tahu Fira tentang ini!
Fira menghela nafas. “Gak kenapa-kenapa,”
jawabnya, lalu membetulkan posisi topinya yang sebenarnya tidak perlu
dibetulkan. Kayak gitu tuh, kalo lagi bohong.
“Bener-bener gara-gara gue ya, Fir?” tanyaku.
Fira menghentikan langkahnya, membuatku juga
berhenti. Ia menghela nafas, lagi. Kali ini ia menggenggam kedua tali tas
ranselnya. “Gue lagi pengen makan cheese
cake ukuran jumbo, Yon,” ucapnya. “Bayarin ya!” lanjutnya sambil tersenyum
selebar-lebatnya, lalu melanjutkan perjalanan begitu saja tanpa menunggu
persetujuanku.
Aku ikut menghela nafas, sebelum setelah itu
menggerakkan kakiku lagi.
Mungkin aku agak jahat pada Razka. Laki-laki
itu menyukai Fira sejak pertama kali mereka bertemu di sebuah bimbingan belajar
saat liburan kenaikan kelas 11 dulu, berarti sudah setengah tahun. Dan seminggu
yang lalu Fira memutuskan hubungan mereka, di hari ke-33 masa kebersamaan
mereka. Ya, baru sebulan pacaran.
Eh, ralat. Aku tak pernah menyuruh Fira
memutuskan Razka. Aku hanya pernah menyarankannya sekali, eh dua kali, eh atau
tiga kali ya? Ah, pokoknya aku pernah beberapa kali mengatakan bahwa Razka
bukan laki-laki yang baik untuk Fira. Razka itu terlalu keras, dan sepertinya
ia tipe pria pengekang. Belum keliatan sih, ya namanya juga baru sebulan.
Fira adalah sahabatku sejak kecil, oleh karena
itu aku merasa bertanggung jawab padanya. Aku tidak bisa membiarkan ia bersama
laki-laki yang salah. Dan untungnya, aku bisa membaca dengan baik mana
laki-laki yang baik atau pura-pura baik, atau bahkan memang tidak baik sama sekali.
Razka memang sangat manis, menurutku, aku pernah mengatakan itu pada Fira. Tapi
ia bukan tipeku. Razka merokok dan aku benci laki-laki perokok, membuatku malas
mendekati bibirnya.
***
Hari ini aku berada di gedung kesenian yang
sama. Bukan, kali ini bukan untuk bermain game.
Hari ini aku menemani Fira yang sedang mengadakan general rehearsal untuk pertunjukan nanti malam. Ini pentas
pertamanya. Akhirnya ia terpilih menjadi salah satu pemain yang ikut dalam
pertunjukan, walaupun peran yang ia dapat tidak terlalu penting, menurutku. Tapi
kalau bukan karena Fira, mungkin aku tidak akan menonton pertunjukan ini nanti
malam. Jadi mereka harus berterima kasih pada Fira karena ada satu orang yang
membeli tiket hanya untuk menontonnya. Oh, mungkin dua. Kurasa Razka juga akan
menonton malam ini.
Aku masih tak habis pikir kenapa anak itu
menyukai drama. Kepura-puraan. Ya, walaupun Fira memang sedikit introvert seperti tipe O pada umumnya
dan membuatku harus bekerja lebih keras untuk membaca keadaan hati dan pikirannya
yang terkadang sulit, atau bahkan sama sakali tidak mau ia ungkapkan. Tapi
apakah tertutup berarti harus berpura-pura? Apa ia sengaja mempelajari ilmu
kepura-puraan ini untuk menutupi dirinya sendiri? Ah, Sapi!
Aku sedang duduk di bangku barisan paling depan
bersama beberapa orang, sedikit, tak lebih dari dua puluh. Beberapa orang juga
bolak-balik di sekitar panggung, sebagian seperti pernah kulihat wajahnya,
mungkin di televisi, atau aku pernah bermimpi bertemu dengan mereka. Ah,
entahlah, lagi pula aku tak peduli.
Sudah satu bulan setelah Fira pegat dengan
Razka. Kelihatannya ia baik-baik saja, sekali lagi, kelihatannya. Tapi aku tau,
sedikit-sedikit ia masih suka mengingat Razka. Siapa juga yang bisa begitu saja
melupakan pria semanis Razka. Ya, manis. Razka adalah salah satu pria termanis
yang pernah kulihat. Kulitnya sawo matang, alisnya tebal, dan ada kumis tipis
melintang diatas bibirnya. Untung ia perokok, jadi aku tidak berminat sama
sekali padanya. Bahaya kalau aku harus menyukai pacar sahabatku sendiri. Ya
walaupun sekarang sudah berganti status menjadi mantan.
Fira memang baik-baik saja, kuyakin. Ia bilang,
ia sedang dekat dengan seseorang yang sekarang sedang berada di gedung ini. Katanya
sih, tokoh yang menjadi teman baiknya di dalam drama ini. Itu salah satu
alasanku datang kesini. Mau liat gebetan Fira kayak gimana. Semanis Razka kah?
Atau lebih tampan?
Ah, kenapa Fira harus menyukai teman baiknya
dalam drama? Kenapa bukan teman baiknya di kehidupan nyata? Kenapa bukan aku?
Atau jangan-jangan ia memang menyukaiku? Ah…. Aku tertawa geli menanggapi
pikiranku sendiri. Benar-benar menggelikan.
Eh, itu Fira! Akhirnya ia muncul. Tapi mana
teman dekatnya? Mana laki-laki yang ia suka itu? Aku tak sabar melihatnya! Dan
itu dia!!! Orang itu!
***
Aku masih duduk terdiam di tempatku saat tirai
tertutup. Lampu tidak dinyalakan seperti saat pertunjukkan kerena memang tidak
dimatikan. GR sudah selesai, tapi aku tak beranjak atau bahkan menggerakkan
tubuhku sedikitpun dari tempatku duduk.
Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Ini
drama macam apa? Aku sampai tak sadar membasahi pipiku dengan air mata.
Keparat! Air mataku!
Tak lama, Fira datang menghampiriku. “Gimana,
Yon?” tanyanya ceria. “Keren kan?”
Aku membuang muka. Marah.
Fira menghela nafas, aku bisa mendengarnya
dengan jelas. Dan kurasa ia mengerti mengapa aku mencampakkan kalimatnya.
“Fir, breafing
dulu yuk!” orang itu, orang yang disukai Fira itu datang menghampiri dan
mengulurkan tangannya pada Fira.
Aku melirik pada orang itu, sebentar, lalu
kembali membuang pandanganku sambil berusaha keras menahan diri agar tidak
kelepasan menangis seperti tadi.
“Kenapa nangis?” tanya Fira. “Ini kan, cuma drama!”
tambahnya sambil tersenyum, senyum yang kuyakin pasti sangat pahit, walau aku hanya
melihatnya samar-samar dari pinggir mataku. Ia lalu pergi setelah sebelumnya
meraih tangan orang itu dan berjalan bergandengan tangan meninggalkanku.
Aku terpukul. Ternyata orang itu tidak sama
sekali tampan. Ia bahkan cantik, sangat cantik. Fira, aku marah! Hanya aku yang
boleh tersesat. Tidak kau! Keparat!
endingnya udah tertebak sih. prequel ini...
ReplyDeletetapi aku baru tau dion ternyata baik banget!
damn! he's so kind!
btw, di sini aku nggak dapet emosinya. tapi tetep aja ceritanya keren sekeren mobil sport dua seat idamanku :p
Emang ini agak gak niat sih liat aja dikit banget kan haha.
ReplyDeleteCuma buat jadi batu loncatan aja ke cerita yang terakhir hahaha.
MANA CERITA TERAKHIRNYA MANA? AKU BUTUH CERITA TERAKHIRRR
DeleteJangan gitu ah jadi takut ngepost nya -_- ceritanya biasa aja jangan berekspektasi ketinggiaaaaaaaannnnnn hhhh
Deleteaku jarang kok berekspektasi kalo baca sesuatu. *kalo nonton sesuatu, baru. haha*
Deleteayo buruan di post!!
iye coming soon masih ragu di ending-_-
Deleteaduh penasaran sama ending terus ini cerita mau dibawa kemana. aaa.
Delete