Entah
sugesti apa yang diberikan gadis gila ini dan entah bagaimana caranya, aku
melepas predikat perempuan malasku dan mulai mencari pekerjaan yang
menghasilkan cukup uang. Untuk makan, membeli pakaian, dan untuk pengobatan.
Ya, aku pernah berjanji pada diriku sendiri akan membawa Stephani –aku
mengetahui namanya dari KTP yang kutemukan didalam tas lusuh yang kubawa dari
rumah tempat aku menemukannya dulu- ke rumah sakit, jika uangku terkumpul lagi
setelah membelikannya kursi roda. Bukan terlalu baik, tapi apa kau mau
menggendong kemana-mana orang yang tinggi dan berat badannya hampir sama
denganmu?
Dan hari
ini aku mengajak Stephani berkunjung ke salah satu Rumah Sakit Jiwa tempat aku
biasa menghabiskan sore beberapa tahun lalu. Bukan, aku bukan mantan pasien rumah
sakit ini, tapi Ibuku, maksudku ia adalah dokter jiwa yang dulu pernah bertugas
di rumah sakit ini. Tapi kemudian ia wafat dicelakai oleh pasiennya sendiri.
Meski merasa sangat kesal dan sakit, namun aku tidak bisa menuntut siapapun.
Ibuku mati ditangan orang gila yang bahkan malaikat saja mengangkat pena dari
kegiatan menulis daftar dosa atas orang itu. Aku tidak mengerti harus
menyalahkan siapa.
Kuhela
nafas panjang. Sebenarnya aku sangat membenci tempat ini. Tapi lagi-lagi aku
memikirkan Stephani. Aku ingin ia sembuh. Jujur, aku tak punya siapa-siapa lagi
di dunia ini, ya, kecuali si ibu penjual nasi depan gubukku, dimana aku biasa
memesan sepiring nasi dan membayarnya dengan kata ‘nanti’. Seandainya Stephani
sembuh, mungkin ia bisa menjadi temanku. Kami akan menjadi pasangan kembar yang
sangat manis, kurasa. Walaupun si ibu penjual nasi harus lebih sabar karena
hutangku padanya akan menjadi dua kali lipat setiap harinya.
Aku
melangkah menuju ruang psikiatris sambil mendorong kursi roda yang diduduki
Stephani. Aku terus mengajaknya bicara, apapun, meski kutahu ia tidak akan
memberikan respon. Tapi paling tidak ia mendengar kata-kataku, dan tidak merasa
asing berada disini. Stephani tetap menunduk. Tidak ada sama sekali semangat
menyambut suasana baru disekitarnya. Sangat menyedihkan.
“Stephani!”
tiba-tiba kudengar suara seorang laki-laki memanggil nama… entah Stephani yang
ada bersamaku atau bukan.
Aku menoleh
kearah sumber suara. Seorang pria dengan jaket biru langit menghampiriku.
“Stephani,”
panggilnya seraya menatapku. “Stephani?” nada bicaranya berubah saat melihat
gadis yang duduk di kursi roda didepanku. Keningnya kini berkerut.
“Kamu kenal
Stephani?” tanyaku hati-hati.
“Kamu….”
Pria itu seperti tidak menemukan kata-kata untuk diutarakan. Mungkin karena
melihat wajahku dan Stephani yang memang sangat mirip.
“Nama saya
Ara,” ucapku. “Ini Stephani,” tambahku sambil memegang bahu orang yang namanya
baru saja kusebutkan.
Laki-laki
tadi perlahan menekuk kakinya seraya berlutut didepan Stephani. “Stephani?”
panggilnya lembut.
Stephani
tak juga bosan bergeming. Ia masih terdiam dalam posisinya.
“Stephi…”
panggil orang itu lagi, kali ini terdengar lirih.
Stephani
perlahan mengangkat kepalanya dan menatap orang didepannya itu cukup lama.
Sepertinya Stephani memang mengenal orang ini. Biasanya terpancar embun dingin
dari matanya jika didekati wajah yang benar-benar asing baginya. Tapi Stephani
tidak bersikap seperti itu pada pria ini.
“Emm,”
kurasa aku harus memulai percakapan. “Saya bawa dia dari rumah kosong di Jalan
Anggrek,” ungkapku tanpa diminta. “Saat itu, keadaannya lebih parah dari
sekarang,” lanjutku.
Laki-laki
tadi menengadah menatapku, mendengar baik-baik ucapanku. Ia lalu mengembalikan
tatapannya pada mata Stephani, yang sepertinya sangat ia rindukan. Aku bisa
merasakan itu dari sinar matanya.
“Andrea….”
Aku mendengar bibirnya bersuara, sangat pelan.
“Kalo boleh
tau, kamu siapanya Stephani?” tanyaku berusaha memecah rasa entah takjub atau
apa yang mebuat orang itu sulit mengeluarkan kata-kata.
Ia berdiri.
“Saya temen deket kakaknya,” jawabnya.
“Kakaknya
yang…” kali ini aku yang kesulitan mengeluarkan kalimat.
“Dimana Andrea sekarang? Kamu tau?” tanya laki-laki putih itu.
“Dia… bunuh
diri,” jawabku pelan, bahkan sangat pelan, sengaja agar Stephani tidak
mendengarnya. Tiba-tiba saja aku gemetar.
Orang itu
tidak sama sekali tampak terkejut. Ia menyeringai lemah. “Tolol!” umpatnya
pelan.
Aku masih
terdiam, berusaha mencari cara untuk bisa bicara lama dengan orang ini.
Sepertinya ia tau banyak hal tentang Stephani dan keluarganya. “Emm….”
“Ya?” tanya
orang itu.
“Punya
waktu untuk ngobrol sebentar?” ucapku.
“Boleh,”
jawab laki-laki itu.
Lalu kami
bertiga menghampiri sebuah kursi panjang kosong, lalu duduk kecuali Sthephani,
ia tetap diatas kursi rodanya, disebelahku.
“Bisa
certain sesuatu tentang Andrea?” aku yang lagi-lagi memulai percakapan.
Pria tadi
memutar pandangannya, sejenak, lalu kembali menatapku. “Gara-gara orang
brengsek itu!” ucapnya sambil menunjuk seorang dokter yang sedang duduk sedikit
jauh dibelakangku.
“Dokter
itu?” tanyaku heran.
“Iya, dia,”
jawabnya yakin. “Andre emang agak aneh dari kecil, dia suka ngebedah tubuh
makhluk hidup,” ia mulai bercerita. “Awalnya masih agak normal, ikan atau
kodok, tapi lama-lama udah mulai binatang yang… ya semacem kucing, musang dan
yang sejenis itu,” lanjutnya.
“A…apa?”
aku tercekat. Seaneh-anehnya teman yang kupunya, dari yang suka memakan pangkal
punting rokok sampai yang tidak pernah mengunyah nasi setiap kali makan, tapi
tidak ada yang seekstrim itu.
“Mungkin
agak sulit dipercaya, tapi Andre pernah bilang sama saya kalo dia penasaran mau
ngebedah tubuh manusia,” tambah orang itu.
“Hah?”
tenggorokanku semakin tersumbat. Kepalaku berputar mendengar kalimat orang yang
ada didepanku. Pusing, mual, kaget, dan rasa tak bercaya teraduk menjadi satu.
“Semenjak
itu saya gak pernah berteman sama Andre lagi. Tapi kabar terakhir yang saya
denger, orang tuanya meninggal dalam keadaan terbedah.”
Aku
menghayati semua cerita itu. Sedikit tidak masuk akal, sebenarnya. Sekilas
muncul pikiran –dan sekaligus doa- di kepalaku bahwa semua omongan orang ini
hanya bercanda. “Emm… tapi apa hubungannya sama dokter itu? Bukannya itu dokter
jiwa?” tanyaku sambil menatap laki-laki dengan pakaian putih yang sedang
membaca sebuah buku tebal itu.
“Dokter
jiwa?” pria didepanku tertawa. “Mungkin lebih tepatnya, dokter sakit jiwa!”
tukasnya kemudian. Ia lalu membuang pandangan dari laki-laki berkacamata itu.
“Maaf,
maksudnya?” tanyaku benar-benar menyiratkan rasa penasaran.
“Dia itu
dokter awalnya dokter bedah. Dia teman baik Andre. Dia yang ngeracunin Andre tentang ilmu bedah dan segala penyimpangannya. Tapi dia sendiri gagal jadi
dokter bedah dan akhirnya beralih jadi dokter jiwa.”
“Tunggu,
ini agak aneh. Gimana bisa….”
“Terserah
mau percaya atau gak, tapi itu yang saya tau,” tutur pria disampingku dengan
sangat meyakinkan.
Aku
menggaruk kepalaku yang tidak sama sekali gatal. Bingung sendiri.
“Arzy!”
tiba-tiba seseorang berlari kecil kearahku sambil memanggil… mungkin orang yang
sedang duduk bersamaku.
Kami berdua
menoleh kearah sumber suara.
“Arzy,
ternyata kamu disini,” ucapnya diiringi hembusan nafas lega. “Kamu…” gadis itu
menatapku bingung.
“Oh, saya
Ara,” ucapku seraya mengulurkan tangan.
“Delisa,”
tuturnya sambil menyambut uluran tanganku dan tersenyum manis. “Kalian kenal?”
tanyanya kemudian.
“Enggak,
tapi…” kalimatku terpotong.
“Oh, kalo
gitu maaf ya kalo tadi dia ngomong yang macem-macem atau gimana. Gak usah
dianggap serius,” ucap Delisa.
“Maksudnya?”
tanyaku.
“Arzy ini
pasien skizofrenia, halusinasinya suka keluar batas, dan dia suka mengkonstruk
sendiri dan punya keyakinan tentang masa lalu yang mungkin Cuma ada di
otaknya,” jelas Delisa setengah berbisik.
“Oh, gitu.”
Tanggapku sambil tersenyum semu. Aku, lagi-lagi merasakan sensasi tajam
dijantungku. Terkejut. Tapi sedikit lega bahwa semua kata-katanya barusan
hanyalah halusinasi belaka. Syukurlah, masih ada kemungkinan bahwa kakak
Stephani tidak semenyeramkan cerita yang baru saja aku dengar.
Tunggu, aku
baru teringat Stephani. Dengan cepat aku menoleh kesebelahku. Stephani sudah
tidak ada. Aku terlalu terhanyut pada cerita laki-laki bernama Arzy itu. Sial,
kemana Stephani?
Aku baru
akan memutar leherku beberapa derajat untuk mencari keberadaan Stephani saat
sebuat teriakan kencang terasa memekakkan telingaku.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”
Aku refleks
menoleh kearah sumber suara. Dan seketika, paru-paruku seperti diremas-remas
jutaan jari. Nafasku terasa sempurna berhenti saat aku melihat Stephani berdiri
sambil menggenggam kayu balok yang ujungnya menenetes titik-tikik kental merah,
dan seorang dokter berkacamata terkapar dengan sebuah buku tebal tergeletak
disamping kepalanya yang berlumuran darah.
fak....
ReplyDeletepure genius. gila!! nggak bakal nyangka kalo ternyata sedikit menyentil tokoh dari cerita mu yang lain.
andun endingnya kayanya si dokter berkacamata itu aku kenal deh!! a great moodbuster!!!
Asik thank you :)
ReplyDeleteTunggu, siapa?
eh aku messed up. cowo berkacamata yang aku maksud yang pernah kamu tunjukin filmnya! HHAHHAAHAHAHAH
ReplyDeleteHAHAHAHAHA yang ini jauh lebih ganteng ya, please.
ReplyDeletesiapa sih siapa? lanjut dong lanjuttt!
ReplyDeleteGak ada sih bukan siapa siapa. haha
ReplyDelete.....................
ReplyDeleteeh kayanya lucu juga ya nginget kalo kita udah pernah bikin cerita yang saling berhubungan. haha.