Saturday, August 4, 2012

Stephani



Entah sugesti apa yang diberikan gadis gila ini dan entah bagaimana caranya, aku melepas predikat perempuan malasku dan mulai mencari pekerjaan yang menghasilkan cukup uang. Untuk makan, membeli pakaian, dan untuk pengobatan. Ya, aku pernah berjanji pada diriku sendiri akan membawa Stephani –aku mengetahui namanya dari KTP yang kutemukan didalam tas lusuh yang kubawa dari rumah tempat aku menemukannya dulu- ke rumah sakit, jika uangku terkumpul lagi setelah membelikannya kursi roda. Bukan terlalu baik, tapi apa kau mau menggendong kemana-mana orang yang tinggi dan berat badannya hampir sama denganmu?

Dan hari ini aku mengajak Stephani berkunjung ke salah satu Rumah Sakit Jiwa tempat aku biasa menghabiskan sore beberapa tahun lalu. Bukan, aku bukan mantan pasien rumah sakit ini, tapi Ibuku, maksudku ia adalah dokter jiwa yang dulu pernah bertugas di rumah sakit ini. Tapi kemudian ia wafat dicelakai oleh pasiennya sendiri. Meski merasa sangat kesal dan sakit, namun aku tidak bisa menuntut siapapun. Ibuku mati ditangan orang gila yang bahkan malaikat saja mengangkat pena dari kegiatan menulis daftar dosa atas orang itu. Aku tidak mengerti harus menyalahkan siapa.

Kuhela nafas panjang. Sebenarnya aku sangat membenci tempat ini. Tapi lagi-lagi aku memikirkan Stephani. Aku ingin ia sembuh. Jujur, aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, ya, kecuali si ibu penjual nasi depan gubukku, dimana aku biasa memesan sepiring nasi dan membayarnya dengan kata ‘nanti’. Seandainya Stephani sembuh, mungkin ia bisa menjadi temanku. Kami akan menjadi pasangan kembar yang sangat manis, kurasa. Walaupun si ibu penjual nasi harus lebih sabar karena hutangku padanya akan menjadi dua kali lipat setiap harinya.

Aku melangkah menuju ruang psikiatris sambil mendorong kursi roda yang diduduki Stephani. Aku terus mengajaknya bicara, apapun, meski kutahu ia tidak akan memberikan respon. Tapi paling tidak ia mendengar kata-kataku, dan tidak merasa asing berada disini. Stephani tetap menunduk. Tidak ada sama sekali semangat menyambut suasana baru disekitarnya. Sangat menyedihkan.
“Stephani!” tiba-tiba kudengar suara seorang laki-laki memanggil nama… entah Stephani yang ada bersamaku atau bukan.

Aku menoleh kearah sumber suara. Seorang pria dengan jaket biru langit menghampiriku.

“Stephani,” panggilnya seraya menatapku. “Stephani?” nada bicaranya berubah saat melihat gadis yang duduk di kursi roda didepanku. Keningnya kini berkerut.

“Kamu kenal Stephani?” tanyaku hati-hati.

“Kamu….” Pria itu seperti tidak menemukan kata-kata untuk diutarakan. Mungkin karena melihat wajahku dan Stephani yang memang sangat mirip.

“Nama saya Ara,” ucapku. “Ini Stephani,” tambahku sambil memegang bahu orang yang namanya baru saja kusebutkan.

Laki-laki tadi perlahan menekuk kakinya seraya berlutut didepan Stephani. “Stephani?” panggilnya lembut.

Stephani tak juga bosan bergeming. Ia masih terdiam dalam posisinya.

“Stephi…” panggil orang itu lagi, kali ini terdengar lirih.

Stephani perlahan mengangkat kepalanya dan menatap orang didepannya itu cukup lama. Sepertinya Stephani memang mengenal orang ini. Biasanya terpancar embun dingin dari matanya jika didekati wajah yang benar-benar asing baginya. Tapi Stephani tidak bersikap seperti itu pada pria ini.

“Emm,” kurasa aku harus memulai percakapan. “Saya bawa dia dari rumah kosong di Jalan Anggrek,” ungkapku tanpa diminta. “Saat itu, keadaannya lebih parah dari sekarang,” lanjutku.

Laki-laki tadi menengadah menatapku, mendengar baik-baik ucapanku. Ia lalu mengembalikan tatapannya pada mata Stephani, yang sepertinya sangat ia rindukan. Aku bisa merasakan itu dari sinar matanya.

“Andrea….” Aku mendengar bibirnya bersuara, sangat pelan.

“Kalo boleh tau, kamu siapanya Stephani?” tanyaku berusaha memecah rasa entah takjub atau apa yang mebuat orang itu sulit mengeluarkan kata-kata.

Ia berdiri. “Saya temen deket kakaknya,” jawabnya.

“Kakaknya yang…” kali ini aku yang kesulitan mengeluarkan kalimat.

“Dimana Andrea sekarang? Kamu tau?” tanya laki-laki putih itu.

“Dia… bunuh diri,” jawabku pelan, bahkan sangat pelan, sengaja agar Stephani tidak mendengarnya. Tiba-tiba saja aku gemetar.

Orang itu tidak sama sekali tampak terkejut. Ia menyeringai lemah. “Tolol!” umpatnya pelan.

Aku masih terdiam, berusaha mencari cara untuk bisa bicara lama dengan orang ini. Sepertinya ia tau banyak hal tentang Stephani dan keluarganya. “Emm….”

“Ya?” tanya orang itu.

“Punya waktu untuk ngobrol sebentar?” ucapku.

“Boleh,” jawab laki-laki itu.

Lalu kami bertiga menghampiri sebuah kursi panjang kosong, lalu duduk kecuali Sthephani, ia tetap diatas kursi rodanya, disebelahku.

“Bisa certain sesuatu tentang Andrea?” aku yang lagi-lagi memulai percakapan.

Pria tadi memutar pandangannya, sejenak, lalu kembali menatapku. “Gara-gara orang brengsek itu!” ucapnya sambil menunjuk seorang dokter yang sedang duduk sedikit jauh dibelakangku.

“Dokter itu?” tanyaku heran.

“Iya, dia,” jawabnya yakin. “Andre emang agak aneh dari kecil, dia suka ngebedah tubuh makhluk hidup,” ia mulai bercerita. “Awalnya masih agak normal, ikan atau kodok, tapi lama-lama udah mulai binatang yang… ya semacem kucing, musang dan yang sejenis itu,” lanjutnya.

“A…apa?” aku tercekat. Seaneh-anehnya teman yang kupunya, dari yang suka memakan pangkal punting rokok sampai yang tidak pernah mengunyah nasi setiap kali makan, tapi tidak ada yang seekstrim itu.

“Mungkin agak sulit dipercaya, tapi Andre pernah bilang sama saya kalo dia penasaran mau ngebedah tubuh manusia,” tambah orang itu.

“Hah?” tenggorokanku semakin tersumbat. Kepalaku berputar mendengar kalimat orang yang ada didepanku. Pusing, mual, kaget, dan rasa tak bercaya teraduk menjadi satu.

“Semenjak itu saya gak pernah berteman sama Andre lagi. Tapi kabar terakhir yang saya denger, orang tuanya meninggal dalam keadaan terbedah.”

Aku menghayati semua cerita itu. Sedikit tidak masuk akal, sebenarnya. Sekilas muncul pikiran –dan sekaligus doa- di kepalaku bahwa semua omongan orang ini hanya bercanda. “Emm… tapi apa hubungannya sama dokter itu? Bukannya itu dokter jiwa?” tanyaku sambil menatap laki-laki dengan pakaian putih yang sedang membaca sebuah buku tebal itu.

“Dokter jiwa?” pria didepanku tertawa. “Mungkin lebih tepatnya, dokter sakit jiwa!” tukasnya kemudian. Ia lalu membuang pandangan dari laki-laki berkacamata itu.

“Maaf, maksudnya?” tanyaku benar-benar menyiratkan rasa penasaran.

“Dia itu dokter awalnya dokter bedah. Dia teman baik Andre. Dia yang ngeracunin Andre tentang ilmu bedah dan segala penyimpangannya. Tapi dia sendiri gagal jadi dokter bedah dan akhirnya beralih jadi dokter jiwa.”

“Tunggu, ini agak aneh. Gimana bisa….”

“Terserah mau percaya atau gak, tapi itu yang saya tau,” tutur pria disampingku dengan sangat meyakinkan.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak sama sekali gatal. Bingung sendiri.

“Arzy!” tiba-tiba seseorang berlari kecil kearahku sambil memanggil… mungkin orang yang sedang duduk bersamaku.

Kami berdua menoleh kearah sumber suara.

“Arzy, ternyata kamu disini,” ucapnya diiringi hembusan nafas lega. “Kamu…” gadis itu menatapku bingung.

“Oh, saya Ara,” ucapku seraya mengulurkan tangan.

“Delisa,” tuturnya sambil menyambut uluran tanganku dan tersenyum manis. “Kalian kenal?” tanyanya kemudian.

“Enggak, tapi…” kalimatku terpotong.

“Oh, kalo gitu maaf ya kalo tadi dia ngomong yang macem-macem atau gimana. Gak usah dianggap serius,” ucap Delisa.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Arzy ini pasien skizofrenia, halusinasinya suka keluar batas, dan dia suka mengkonstruk sendiri dan punya keyakinan tentang masa lalu yang mungkin Cuma ada di otaknya,” jelas Delisa setengah berbisik.

“Oh, gitu.” Tanggapku sambil tersenyum semu. Aku, lagi-lagi merasakan sensasi tajam dijantungku. Terkejut. Tapi sedikit lega bahwa semua kata-katanya barusan hanyalah halusinasi belaka. Syukurlah, masih ada kemungkinan bahwa kakak Stephani tidak semenyeramkan cerita yang baru saja aku dengar.

Tunggu, aku baru teringat Stephani. Dengan cepat aku menoleh kesebelahku. Stephani sudah tidak ada. Aku terlalu terhanyut pada cerita laki-laki bernama Arzy itu. Sial, kemana Stephani?

Aku baru akan memutar leherku beberapa derajat untuk mencari keberadaan Stephani saat sebuat teriakan kencang terasa memekakkan telingaku.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”

Aku refleks menoleh kearah sumber suara. Dan seketika, paru-paruku seperti diremas-remas jutaan jari. Nafasku terasa sempurna berhenti saat aku melihat Stephani berdiri sambil menggenggam kayu balok yang ujungnya menenetes titik-tikik kental merah, dan seorang dokter berkacamata terkapar dengan sebuah buku tebal tergeletak disamping kepalanya yang berlumuran darah.

7 comments:

  1. fak....
    pure genius. gila!! nggak bakal nyangka kalo ternyata sedikit menyentil tokoh dari cerita mu yang lain.

    andun endingnya kayanya si dokter berkacamata itu aku kenal deh!! a great moodbuster!!!

    ReplyDelete
  2. Asik thank you :)

    Tunggu, siapa?

    ReplyDelete
  3. eh aku messed up. cowo berkacamata yang aku maksud yang pernah kamu tunjukin filmnya! HHAHHAAHAHAHAH

    ReplyDelete
  4. HAHAHAHAHA yang ini jauh lebih ganteng ya, please.

    ReplyDelete
  5. siapa sih siapa? lanjut dong lanjuttt!

    ReplyDelete
  6. Gak ada sih bukan siapa siapa. haha

    ReplyDelete
  7. .....................
    eh kayanya lucu juga ya nginget kalo kita udah pernah bikin cerita yang saling berhubungan. haha.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.