There was a nice fict titled "NOL" created By Hadiqal:
http://aboxofglass.blogspot.com/2012/07/nol.html
And this is the other point of view :)
______
Tik… Tik…
Tik…
Pukul 3 pagi, aku menatap jam weker digital di
meja kamarku. Memastikan dua titik di tengah angka pada jam itu tetap hilang,
muncul, hilang, muncul, dan terus seperti itu dengan jarak waktu yang sama,
tidak bertambah cepat. Seperti tidak pernah mengenal kata bosan sepanjang
perjalanan rumahtanggaku, aku menunggu Reza, suamiku, masuk kedalam kamar.
Lama, dan tak juga terdengar tanda-tanda
langkah kaki mendekati kamar kami. Mungkin suamiku sangat sibuk diruangannya.
Aku bangkit dan menuju kamar kerja Reza.
Perlahan kubuka pintunya. Sejenak, kupandangi tubuhnya yang tampak begitu
lelah, wajahnya yang sedikit pucat pasi, dan sinar matanya yang tak jelas
memancarkan warna apa. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan, sepertinya.
“Reza,” aku memanggil namanya, lembut.
“Apa?” sahutnya, dingin, dan tanpa menoleh
sedikitpun kearahku. Sama seperti malam-malam sebelumnya.
Aku menghela nafas. Mencoba menghempaskan semua
rasa yang muncul karna sikapnya, walau kutau, hasilnya tetap saja, nihil. “Aku
mau tidur,” ucapku.
Reza tak menjawab, tak juga bergerak. Seperti tidak
mendengar seutas suarapun.
“Kamu belum mau tidur?” tanyaku, lagi.
“Tidur aja duluan,” akhirnya ia bersuara. “Aku
belum ngantuk,” tambahnya, lebih dingin dari angin yang tengah mendampingi
hujan yang mengetuk-ngetuk atap rumah kami.
Aku tersenyum pahit. Benar-benar pahit. Tak
perlu berpura-pura manis, karna Reza juga tidak akan melihat, atau bahkan
sekedar melirik kearahku. Aku lalu membalikkan badan dan keluar dari ruang
kerja Reza setelah sebelumnya mematikan lampu ruangan itu, berharap ia mengerti
bahwa aku benar-benar ingin ia berhenti dari kegiatannya itu. Ia sudah cukup
lelah, kutau.
Aku masuk ke kamarku, maksudku kamar kami,
kamarku dan suamiku. Lalu naik keatas tempat tidur, membaringkan kepalaku
diatas bantal, dan menarik selimut yang tidak terlalu tebal. Diluar, hujan
semakin deras. Kakiku menggigil, seharusnya, jika saja hatiku tidak merasakan
suhu yang jauh lebih rendah karena sikap Reza. Hatiku menggigil, kedinginan,
dan tidak menemukan selembar selimutpun untuk menghangatkannya. Kasihan.
Tiba-tiba aku merindukan Riza, saudara kembar
suamiku, entah mengapa. Dan aku benci itu. Setiap kali aku merindukan orang
itu, selalu saja muncul bayangan hitam yang susah payah aku lupakan, dan selalu
gagal.
Aku duduk menangis di tempat tidur Riza, saat
itu. Entah sudah berapa kubik air mata yang kukeluarkan, dan mataku tak juga mengering,
walau sudah membengkak hebat. Aku tersedu sedan sambil menatapi punggung Riza
yang sedang duduk dibangku kayu berkaki empat, membelakangiku.
“Aku mabuk, Lif,” ucap Riza lirih, sepertinya
ia juga menangis, meski tak sederas tangisanku.
Aku mendengar kalimat Riza, namun tak sanggup
menanggapinya, dan lagi pula tak tau harus membalas apa. Aku terus terisak.
“A… aku…” lagi, Riza bersuara. Dan kali ini
suaranya benar-benar bergetar. “Aku akan nikahin kamu,” lanjutnya, terdengar
sebisa mungkin berusaha yakin.
Aku tetap sibuk dengan isakanku. Aku bisa
menerka akan mendengar kalimat itu. Tapi bukan itu yang aku tangisi, bukan
takut tidak dinikahi. Bukan.
Yang paling membuat hatiku sakit adalah semua
yang telah hilang. Di kamar sialan ini. Hilang, dan tidak akan bisa kembali
lagi meski Riza menikahiku sebanyak 100 kali. Yang aku tangisi adalah
kesucianku, rahimku, perhiasanku, harga diriku. Marah, benci, kesal, sakit,
sedih, malu, semua bercampur dan menyerang serta menghujam hati dan pikiranku
secara bersamaan.
Aku tidak pernah membayangkan, dan bahkan
sampai saat ini tidak percaya, aku mengandung sebelum melangsungkan pernikahan.
Hina. Rasanya ingin maati saja.
Entah sampai kapan aku terus menangis. Saat
itu, aku seperti akan menghabiskan seumur hiupku dengan menangis, jika aku
tidak juga mati.
“Maafin aku, Lif,” tutur Riza pelan dan lirih,
nyaris tak terdengar.
Air mataku menetes membasahi bantal tidurku
saat Reza terengar melangkah masuk kedalam kamar. Untunglah, aku membelakangi
pintu sehingga Reza tak melihat air mataku, tak melihat lemahnya jiwaku.
Reza naik ketempat tidur dan berbaring
disampingku. Tidak, tidak benar-benar disampingku, sebenarnya. Walaupun berada
di tempat tidur yang sama, tapi Reza selalu menjaga jarak tidurnya denganku. Ia
menghela nafas, dan aku bisa mendengarnya dengan jelas. Benar, sepertinya ia
benar-benar sangat lelah.
“Selamat malam,” ucapku pelan, tanpa
membalikkan badan.
Reza diam, sejenak. Mungkin ia mengira aku
sudah tertidur lelap. “Malam,” balasnya kemudian.
***
Aku menatap jam weker digital di meja kamarku.
Memastikan dua titik di tengah angka pada jam itu tetap hilang, muncul, hilang,
muncul, dan terus seperti itu dengan jarak waktu yang sama, tidak bertambah
cepat. Tapi sialnya, semakin lama dua titik itu semakin cepat berkedip. Paling
tidak, itu yang kurasakan. Tiga jam 25 menit lagi, tepat dua bulan usia
pernikahanku dengan Reza.
Aku tau, Reza pasti sedang menatap jam dinding
di ruang kerjanya, sama seperti yang kulakukan di kamar ini. Bedanya, detik jam
di ruang kerja Reza pasti berjalan lambat, sedangkan detik jam di kamar ini
berjalan sangat cepat. Reza juga pasti sedang menyesali kejadian lalu, saat ia
memutuskan untuk menikah denganku. Sama seperti yang aku rasakan, menyesali
ketika aku memutuskan untuk menikah dengannya. Bedanya, ia ingin membayar semua
penyesalan itu dengan mengakhiri pernikahan kami, sedangkan aku justru ingin
membayar penyesalan itu dengan terus bertahan disampingnya.
Kami berbeda. Sungguh berbeda.
Aku merindukan Reza. Seperti yang selalu aku
rasakan. Aku merindukan suamiku. Ternyata benar apa yang pernah kudengar, mencintai
itu tidak mudah. Dan mencintai orang yang tidak mencintai kita itu sangat tidak
mudah.
Aku beranjak menuju ruang kerja suamiku. Lalu
kubuka pintunya pelan-pelan.
Reza menoleh. “Kenapa?” tayanya.
Aku menunduk, mencoba menutupi raut kesedihan
yang mungkin saja bisa terbaca olehnya. “Aku boleh duduk di samping kamu?”
tanyaku sambil susah payah mencoba tersenyum.
Seperti biasa, Reza diam, sejenak. Lalu ia
menghela nafas, kemudian bergeser dari posisi duduknya dan memberikan tempat
untukku.
Aku mendekat, lalu duduk disampingnya. Diam,
menemani kediaman orang yang ada disampingku. Kusandarkan kepalaku di bahunya.
Tak peduli jika Reza merasa canggung, aku merasa sangat nyaman dalam
kecanggungan ini. Aku merindukannya. Merindukan Reza.
Suara detik jam terdengar sangat memilukan.
Tiga, empat, lima, enam kali suara detakan detik jam itu seperti memburu
waktuku dengan pisau-pisau tajam yang siap memutuskan tali pernikahanku dengan
Reza. Aku menangis, di bahu suamiku.
Reza terdiam, entah apa yang ada dipikirannya
sekarang. Aku sama sekali tak berani menerkanya. Aku takut. Takut kehilangan
Reza. Semakin lama, tangisku semakin menjadi. Aku merasa air mataku akhirnya
jatuh di tempat yang tepat, bahu pendamping hidupku. Aku bisa merasakan tangan
Reza memelukku. Dia benar-benar memelukku.
Pelukan itu… ternyata seperti ini rasanya
dipeluk oleh orang yang kita sayang. Ternyata seperti ini. Hangat, nyaman,
damai, namun terasa pedih dan perih. Ya, seperti itulah pelukan Reza. Pelukan
suamiku.
***
Sudah jam 9 pagi, tapi Reza belum juga bangun.
Kutatap secangkir teh yang sepertinya sudah dingin, kulirik roti tawar yang
sudah kusiapkan di atas piring kecil, belum sama sekali tersentuh oleh si tuan
rumah. Reza masih terlelap tidur, dan aku tidak tega membangunkannya. Sepertinya
semalam ia bekerja sampai larut pagi. Entah benar-benar mengerjakan
pekerjaannya, atau menghabiskan waktu menatapi jam dinding seperti yang biasa
ia lakukan, tak sabar menantikan kelahiran anakku, dan melakukan sesuatu
setelah itu.
Aku beranjak dari ruang makan menuju ruang
televisi, duduk di sofa empuk dan meraih remote tivi. Hampir seluruh ruangan di
rumah kami terguyur cahaya matahari pagi. Reza yang memilihkan rumah ini, dan
aku sangat menyukainya. Dan juga sangat menyukai orang yang memilihkannya.
Hari ini hari minggu, dan aku suka hari minggu.
Meski tidak ada istilah hari libur untukku, karena aku memang tidak bekerja.
Tapi setiap akhir pekan, paling tidak Reza ada di rumah ini. Walaupun ia lebih
memilih menghabiskan waktunya sendiri di ruang kerja dibanding duduk santai
bersama istrinya, tidak apa-apa, paling tidak aku berada di bawah atap yang
sama dengan suamiku.
Aku menekan tombol power pada remote tivi, dan
menonton channel apa saja yang kudapati. Tak peduli apa acara yang muncul di
televisi di depanku, toh aku menonton tivi hanya untuk menunggu Reza bangun.
Aku sedang tertawa melihat kucing yang gagal
memukul tikus dengan tutup panci dan malah terkena anjing besar yang seketika
mukanya menjadi merah karena marah saat Reza yang masih dengan piyamanya itu datang
menghampiriku. Tidak terlalu lucu sebenarnya, hanya saja aku ingin tertawa
untuk memastikan pada diriku sendiri bahwa aku terhibur.
Aku menoleh dan tersenyum. “Baru bangun?”
tanyaku.
“Iya,” balasnya, sedikit kaku. Ia lalu duduk
disampingku dan melihat kearah perutku yang semakin lama semakin membesar. “Kamu
udah ngecek lagi?” tanyanya kemudian.
Aku melihat kearah yang sama dengan yang Reza
lihat. Perutku. “Belum,” jawabku kemudian. Aku mengalihkan pandanganku ke
wajahnya. “Jadwalnya besok,” tambahku.
Reza membulatkan bibir. “Sama siapa kesananya?”
tanyanya kemudian.
“Mama paling, seperti biasa,” jawabku.
Kami terdiam, cukup lama. Suasana di ruangan
ini lebih mirip ruang sidang dibanding ruang televisi sepasang suami-istri
dengan seorang anak didalam kandungan. Kaku, hingga tanpa kusadari acara kartun
di televisi sudah berubah ke program lain. Sebuah berita tentang mobil truk
yang menabrak dua mobil sedan di jalan tol.
“Sudah dua bulan yang lalu ya,” ucapku
tiba-tiba.
“Iya…” tanggap Reza, tanpa menoleh kearahku.
“Kamu gak bahagia sama pernikahan kita ya?”
tanyaku seraya memandang wajahnya, hanya iseng sebenarnya, karna aku sudah
mengetahui jawabannya.
“Gak,” jawab Reza lugas, sesuai perkiraanku. Ia
menatapku, “Kamu sendiri?” tanyanya.
“Kalau begitu, kenapa kamu mau nikahin aku?”
aku membalas pertanyaan Reza dengan pertanyaan baru.
Reza terdiam. Tak ada sepatahkatapun keluar
dari bibirnya.
Aku menghela nafas. Mungkin memang tidak ada
jawaban untuk itu, atau mungkin ada, tapi terlalu menyakitkan untuk kudengar.
Aku berdiri, hendak pergi kedapur untuk mebuatkan teh hangat baru untuk Reza.
“Aku berhutang budi sama ayahnya,” ucap Reza
seraya menunjuk perutku dengan tatapannya, setelah sesaat yang lalu meraih
tanganku untuk menahan.
“Cuma karena itu?” tanyaku lagi.
“Dia kakakku, Lif,” jawabnya. Jawaban yang
tidak sama sekali menjawab pertanyaan terakhirku.
Sejenak membisu, aku lalu menghempas tanganku
pelan, melepaskan diri dari genggaman Reza. Hatiku kalut. Sekali lagi muncul
pikiran itu, mungkinkah aku menikah dengan orang yang salah? Pikiran yang
selalu sebisa mungkin kubuang jauh-jauh. Aku lalu pergi meninggalkan ruang
tengah, bukan ke dapur, melainkan ke kamar. Aku tiba-tiba lupa dengan niatku
membuatkan teh untuk Reza.
Tak berapa lama, Reza membuka pintu kamar saat
aku tengah duduk bersama sunyi di tepi tempat tidur. “Kamu udah sarapan?”
tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
“Jangan sampe telat makan, kasian kandungan
kamu,” ujarnya lembut. “Jangan terlalu banyak pikiran juga,” lanjutnya.
“Za,” aku memanggilnya, tak sama sekali
memerdulikan kalimatnya barusan.
“Ya?” sahut Reza, masih dari depan pintu kamar.
“Kalo Riza gak meninggal karena kecelakaan itu,
apa kamu akan nikahin aku?” tanyaku lagi. Aku baru sadar, untuk pertamakalinya
aku menanyakan hal ini pada Reza.
Seperti biasa, Reza terdiam sesaat. “Riza nikah
lari sama perempuan lain di hari pernikahan kalian,” paparnya. “Ini permintaan
maaf aku untuk kejadian itu,” jelasnya, diiringi senyum getir. Ia lalu menutup
pintu kamar dan meninggalkanku sendiri seperti sebelum ia datang.
Aku memejamkan mata. Mencaci dan menghujat
diriku sendiri dalam hati. Aku merasa seperti orang paling bodoh di seluruh
dunia. Aku seperti manusia paling egois. Picik. Licik. Dan munafik.
***
Malam ini, entah apa yang tejadi padaku. Aku
ingin berdansa bersama suamiku. Kutarik tangannya dan kubawa ia keluar dari
ruang kerjanya, menuju ruang tamu. Kuputar musik Coeur
Volant hasil
garapan Howard Shore. Sebuah musik Prancis
yang sangat indah. Aku meraih tangannya, dan berdansa. Ia mengikuti semua
gerakanku tanpa protes, meski kutau ia tidak menikmati dansa ini.
Aku menyandarkan kepalaku di
dadanya. “Waktu itu kamu pernah
nanya,
apa aku bahagia dengan pernikahan kita, kan?” tanyaku. “Aku bahagia, beneran deh,” jawabku
kemudian, dan tanpa bisa megendalikan air mata.
Sepertinya Reza bisa merasakan
piyamanya basah karena airmataku. “Kamu gak usah bohong,” ujarnya, sambil terus
bergerak mengikuti alunan musik.
Aku menghela nafas. “Dari satu sampai sepuluh, angka berapa yang kamu berikan untuk pernikahan kita?” tanyaku.
Reza terdiam, entah berpikir
atau memang tidak mau menjawab. Aku terdiam. Musik terus mengalun, menyelimuti
kekakuan yang ada diruang dansa yang aneh ini.
“Nol,” tiba-tiba ia menjawab.
Jawaban yang jauh lebih buruk
dari perkiraan apapun yang pernah terbesit dalam pikiranku. Aku tersenyum
pahit, benar-benar pahit. Dan sakit.
Dan airmataku semakin tak
terkendali.
***
Sore, matahari menyeruak masuk
ke jendela kamarku yang mengarah ke barat. Sinar jingga terasa menyentuh pipi
sebelah kananku saat aku duduk di tepi tempat tidur sambil menatapi jam weker
digital yang semakin hari semakin cepat berganti angka. Bisakah waktu berjalan
lebih lambat? Bisakah aku membuat Reza mencintaiku sebelum bayi ini lahir dan
ia menceraikanku? Aku tidak pernah mendengar Reza merencanakan itu, tapi aku
mengerti. Apa yang diharapkan laki-laki yang menilai pernikahannya dengan angka
‘nol’ selain perceraian?
Aku lalu mengalihkan
pandanganku kearah figura yang terpampang di dinding, foto pernikahanku
dengannya. Aku baru mengenalnya beberapa bulan lalu, saat Riza memperkenalkanku
kepada seluruh anggota keluarganya. Riza adalah laki-laki yang baik, sabar, dan
penuh tanggungjawab, dan begitulah aku menilai Reza saat pertama kali kami
bertemu. Karena mereka adalah saudara kembar.
Aku, tiba-tiba saja teringat
hari itu, hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, aku dan Riza. Aku
duduk di hadapan Riza yang saat itu sangat tampan mengenakan pakaian pengantin.
Kupandangi wajahnya lamat-lamat, dan kutatap matanya dalam-dalam. Aku menghapus
butiran yang jatuh dari mata sembabnya. Ya, satu hal yang sangat tidak kusuka
dari orang ini, cengeng.
“Masa pengantin nangis,”
ujarku seraya mengambil bedak untuk melapisi pipi Riza yang make up nya luntur
karena air mata.
Riza tertawa kecil. “Kamu
cantik, Lif, pake baju pengantin,” ucapnya sambil memandangiku dengan sinar
mata yang sangat hangat.
“Kamu juga ganteng,” balasku.
Kami terdiam sejenak,
menikmati waktu bersama yang mungkin untuk terakhirkalinya di ruangan ini.
Ruangan dengan cahaya remang tempat aku menangisi kehamilanku beberapa minggu
yang lalu. Dan tempat peristiwa memalukan itu terjadi. Kamar kos Riza. Setelah
ini kami akan memiliki rumah baru, bukan? Ya, begitulah cerita pengantin baru.
Rumah baru. Dan mungkin aku tidak akan menginjak tempat hina ini lagi.
“Za,” panggilku, memecah irama
sepi.
“Ya?” tanggap Riza.
“Satu sampai sepuluh, seberapa
besar rasa sayang kamu ke aku?” tanyaku.
Riza tersenyum. “Apa perlu aku
jawab itu?” tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya.
Aku hanya menunduk. Malu,
entah karena apa.
“Lif, kapanpun kamu ngerasa
gak bahagia, kamu akan cari aku kan?” Riza bersuara lagi.
“Kamu mau aku gak bahagia?”
tanyaku membalas pertanyaan Riza.
Riza tertawa kecil. “Bukan
gitu,” sangkalnya. “Lif, walaupun aku sama Reza itu saudara kembar, tapi kita
beda. Yaaa… mungkin sifatnya emang kurang lebih sama sih, tapi untuk perasaan…”
Riza menghentikan kalimatnya.
Aku menatap Riza, menunggu
lanjutan ucapannya.
“Reza belum tentu bisa
ngelindungin kamu kayak aku ngelindungin kamu, dia belum tentu bisa jaga kamu,
karena dia belum tentu bisa sayang sama kamu sebesar aku sayang sama kamu,”
papar Riza, mengulang kalimat yang pernah ia ucapkan beberapa waktu lalu.
Matanya, lagi-lagi berair.
Aku menyeringai sambil
menertawakan omongan sampah itu dalam hati. Melindungi, katanya?
“Kalau bukan karena kamu
bilang kamu benci sama aku dan gak rela punya suami yang udah pernah ngotorin
dan ngancurin hidup kamu, aku gak akan pernah setuju sama permintaan kamu untuk
nikah sama Reza,” ujarnya lemah.
Aku terdiam, seperti sedang
menanggung beban besar, tapi tak mengerti bagaimana bentuk beban itu.
Seseorang masuk tanpa mengetuk
pintu kamar. “Za,” panggil perempuan yang berpakaian hampir sama denganku itu. Perempuan
yang kukenal sebagai mantan kekasih Riza. Perempuan yang sudah menjalin
hubungan selama tiga tahun dengan laki-laki didepanku, tapi kemudian berpisah
setelah Riza mengenalku dan memutuskan untuk menjalin kisah baru bersamaku.
Riza berdiri. “Aku ke KUA
duluan ya, Lif,” ucapnya.
Aku berdiri, diam dan tak
berani menatap mata siapapun.
“Setelah kejadian ini, aku
jamin Reza akan nikahin kamu,” ucapnya sambil tersenyum semu. “Tapi aku gak
jamin dia bisa ngebahagian kamu, Lif. Karena kami beda. Kami bukan satu, tapi
kami dua. Dua orang berbeda dengan dua hati yang juga berbeda,” lanjut Riza, ia
kemudian melangkah meninggalkanku dan menghampiri perempuan perpakaian
pengantin di depan pintu.
Tiba-tiba Riza meghentikan
langkahnya. “Mencintai
itu tidak mudah. Dan mencintai orang yang tidak mencintai kita itu sangat tidak
mudah. Semoga kamu bahagia, Lif,” paparnya. “Selamat atas pernikahan
kamu, dan jaga baik-baik anak kita,” tambahnya tanpa sedikitpun menoleh apalagi
memutar badan.
Aku masih duduk terdiam di
tepi tempat tidurku. Matahari senja yang tadi menyinari wajahku, perlahan berpamitan.
Tiba-tiba aku teringat kecelakaan itu, kecelakaan yang menewaskan Riza dan
calon istrinya dalam perjalanan menuju KUA –yang sampai sekarang aku tidak tau
apa mereka benar-benar akan menikah atau hanya pura-pura. Dan tak bisa
dihindari, ingatanku beranjak ke hari itu, tiga hari setelah kecelakaan itu.
Hari pernikahanku dengan Reza. Hari dimana aku resmi menerima kutukan atas
keegoisan, kejahatan dan kebodohan diriku sendiri.
Benar, orang yang tidak baik tidak
akan berjodoh dengan orang baik.
jauh melebihi ekspektasiku. keren, sedih dan pedihnya kerasa bangettt.
ReplyDeletegila. aku bahkan ga pernah ngebayangin apa yang ada di dalam kepala Alifa dan kamu bener2 ngejadiin cerita NOL dan BUKAN SATU ini menjadi SATU CERITA UTUH. gilaaa!!!
I love this very very much, indeed. apalagi kata-kata terakhirnya "orang yang tidak baik tidak akan berjodoh dengan orang baik."
VERY WELL DONE!
Asik Kal dikasih tantangan kayak gini :)))
ReplyDeleteMakasih pancingan inspirasinya.
Kalimat terakhir itu justru tadinya gak ada, tapi pas detik2 terakhir mau aku post, tiba2 iseng aja nulis kayak gitu. haha.
asik -_- haha.
Deleteini proyek duet kedua kita ya! haha.
kata2 terakhirnya memorable dan cerita ini masih bisa dieksplor lebih luas kayanya.
btw dari spin off cerita2ku, aku tinggal nunggu ka gia -_-
tinggal unstoppable nitemare ni... wuahahha
Aku sebenernya ragu ngasih yang Unstopable Nightmare Kal soalnya itu romance banget bener2 romance hahaha bukan genre kamu.
DeleteEmang genre aku yg sekarang bukan romance ya? Haha
Deleteeh gak tau sih hehe
DeleteSukak katay 😍
ReplyDelete