Monday, August 6, 2012

Bukan Satu

NOTE:
There was a nice fict titled "NOL" created By Hadiqal:
http://aboxofglass.blogspot.com/2012/07/nol.html 

And this is the other point of view :)
______



Tik… Tik… Tik…
Pukul 3 pagi, aku menatap jam weker digital di meja kamarku. Memastikan dua titik di tengah angka pada jam itu tetap hilang, muncul, hilang, muncul, dan terus seperti itu dengan jarak waktu yang sama, tidak bertambah cepat. Seperti tidak pernah mengenal kata bosan sepanjang perjalanan rumahtanggaku, aku menunggu Reza, suamiku, masuk kedalam kamar.

Lama, dan tak juga terdengar tanda-tanda langkah kaki mendekati kamar kami. Mungkin suamiku sangat sibuk diruangannya.

Aku bangkit dan menuju kamar kerja Reza. Perlahan kubuka pintunya. Sejenak, kupandangi tubuhnya yang tampak begitu lelah, wajahnya yang sedikit pucat pasi, dan sinar matanya yang tak jelas memancarkan warna apa. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan, sepertinya.

“Reza,” aku memanggil namanya, lembut.

“Apa?” sahutnya, dingin, dan tanpa menoleh sedikitpun kearahku. Sama seperti malam-malam sebelumnya.

Aku menghela nafas. Mencoba menghempaskan semua rasa yang muncul karna sikapnya, walau kutau, hasilnya tetap saja, nihil. “Aku mau tidur,” ucapku.

Reza tak menjawab, tak juga bergerak. Seperti tidak mendengar seutas suarapun.

“Kamu belum mau tidur?” tanyaku, lagi.

“Tidur aja duluan,” akhirnya ia bersuara. “Aku belum ngantuk,” tambahnya, lebih dingin dari angin yang tengah mendampingi hujan yang mengetuk-ngetuk atap rumah kami.

Aku tersenyum pahit. Benar-benar pahit. Tak perlu berpura-pura manis, karna Reza juga tidak akan melihat, atau bahkan sekedar melirik kearahku. Aku lalu membalikkan badan dan keluar dari ruang kerja Reza setelah sebelumnya mematikan lampu ruangan itu, berharap ia mengerti bahwa aku benar-benar ingin ia berhenti dari kegiatannya itu. Ia sudah cukup lelah, kutau.

Aku masuk ke kamarku, maksudku kamar kami, kamarku dan suamiku. Lalu naik keatas tempat tidur, membaringkan kepalaku diatas bantal, dan menarik selimut yang tidak terlalu tebal. Diluar, hujan semakin deras. Kakiku menggigil, seharusnya, jika saja hatiku tidak merasakan suhu yang jauh lebih rendah karena sikap Reza. Hatiku menggigil, kedinginan, dan tidak menemukan selembar selimutpun untuk menghangatkannya. Kasihan.

Tiba-tiba aku merindukan Riza, saudara kembar suamiku, entah mengapa. Dan aku benci itu. Setiap kali aku merindukan orang itu, selalu saja muncul bayangan hitam yang susah payah aku lupakan, dan selalu gagal.

Aku duduk menangis di tempat tidur Riza, saat itu. Entah sudah berapa kubik air mata yang kukeluarkan, dan mataku tak juga mengering, walau sudah membengkak hebat. Aku tersedu sedan sambil menatapi punggung Riza yang sedang duduk dibangku kayu berkaki empat, membelakangiku.

“Aku mabuk, Lif,” ucap Riza lirih, sepertinya ia juga menangis, meski tak sederas tangisanku.

Aku mendengar kalimat Riza, namun tak sanggup menanggapinya, dan lagi pula tak tau harus membalas apa. Aku terus terisak.

“A… aku…” lagi, Riza bersuara. Dan kali ini suaranya benar-benar bergetar. “Aku akan nikahin kamu,” lanjutnya, terdengar sebisa mungkin berusaha yakin.

Aku tetap sibuk dengan isakanku. Aku bisa menerka akan mendengar kalimat itu. Tapi bukan itu yang aku tangisi, bukan takut tidak dinikahi. Bukan.

Yang paling membuat hatiku sakit adalah semua yang telah hilang. Di kamar sialan ini. Hilang, dan tidak akan bisa kembali lagi meski Riza menikahiku sebanyak 100 kali. Yang aku tangisi adalah kesucianku, rahimku, perhiasanku, harga diriku. Marah, benci, kesal, sakit, sedih, malu, semua bercampur dan menyerang serta menghujam hati dan pikiranku secara bersamaan.

Aku tidak pernah membayangkan, dan bahkan sampai saat ini tidak percaya, aku mengandung sebelum melangsungkan pernikahan. Hina. Rasanya ingin maati saja.

Entah sampai kapan aku terus menangis. Saat itu, aku seperti akan menghabiskan seumur hiupku dengan menangis, jika aku tidak juga mati.

“Maafin aku, Lif,” tutur Riza pelan dan lirih, nyaris tak terdengar.

Air mataku menetes membasahi bantal tidurku saat Reza terengar melangkah masuk kedalam kamar. Untunglah, aku membelakangi pintu sehingga Reza tak melihat air mataku, tak melihat lemahnya jiwaku.

Reza naik ketempat tidur dan berbaring disampingku. Tidak, tidak benar-benar disampingku, sebenarnya. Walaupun berada di tempat tidur yang sama, tapi Reza selalu menjaga jarak tidurnya denganku. Ia menghela nafas, dan aku bisa mendengarnya dengan jelas. Benar, sepertinya ia benar-benar sangat lelah.

“Selamat malam,” ucapku pelan, tanpa membalikkan badan.

Reza diam, sejenak. Mungkin ia mengira aku sudah tertidur lelap. “Malam,” balasnya kemudian.

***

Aku menatap jam weker digital di meja kamarku. Memastikan dua titik di tengah angka pada jam itu tetap hilang, muncul, hilang, muncul, dan terus seperti itu dengan jarak waktu yang sama, tidak bertambah cepat. Tapi sialnya, semakin lama dua titik itu semakin cepat berkedip. Paling tidak, itu yang kurasakan. Tiga jam 25 menit lagi, tepat dua bulan usia pernikahanku dengan Reza.

Aku tau, Reza pasti sedang menatap jam dinding di ruang kerjanya, sama seperti yang kulakukan di kamar ini. Bedanya, detik jam di ruang kerja Reza pasti berjalan lambat, sedangkan detik jam di kamar ini berjalan sangat cepat. Reza juga pasti sedang menyesali kejadian lalu, saat ia memutuskan untuk menikah denganku. Sama seperti yang aku rasakan, menyesali ketika aku memutuskan untuk menikah dengannya. Bedanya, ia ingin membayar semua penyesalan itu dengan mengakhiri pernikahan kami, sedangkan aku justru ingin membayar penyesalan itu dengan terus bertahan disampingnya.

Kami berbeda. Sungguh berbeda.

Aku merindukan Reza. Seperti yang selalu aku rasakan. Aku merindukan suamiku. Ternyata benar apa yang pernah kudengar, mencintai itu tidak mudah. Dan mencintai orang yang tidak mencintai kita itu sangat tidak mudah.

Aku beranjak menuju ruang kerja suamiku. Lalu kubuka pintunya pelan-pelan.

Reza menoleh. “Kenapa?” tayanya.

Aku menunduk, mencoba menutupi raut kesedihan yang mungkin saja bisa terbaca olehnya. “Aku boleh duduk di samping kamu?” tanyaku sambil susah payah mencoba tersenyum.

Seperti biasa, Reza diam, sejenak. Lalu ia menghela nafas, kemudian bergeser dari posisi duduknya dan memberikan tempat untukku.

Aku mendekat, lalu duduk disampingnya. Diam, menemani kediaman orang yang ada disampingku. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Tak peduli jika Reza merasa canggung, aku merasa sangat nyaman dalam kecanggungan ini. Aku merindukannya. Merindukan Reza.

Suara detik jam terdengar sangat memilukan. Tiga, empat, lima, enam kali suara detakan detik jam itu seperti memburu waktuku dengan pisau-pisau tajam yang siap memutuskan tali pernikahanku dengan Reza. Aku menangis, di bahu suamiku.

Reza terdiam, entah apa yang ada dipikirannya sekarang. Aku sama sekali tak berani menerkanya. Aku takut. Takut kehilangan Reza. Semakin lama, tangisku semakin menjadi. Aku merasa air mataku akhirnya jatuh di tempat yang tepat, bahu pendamping hidupku. Aku bisa merasakan tangan Reza memelukku. Dia benar-benar memelukku.

Pelukan itu… ternyata seperti ini rasanya dipeluk oleh orang yang kita sayang. Ternyata seperti ini. Hangat, nyaman, damai, namun terasa pedih dan perih. Ya, seperti itulah pelukan Reza. Pelukan suamiku.

***

Sudah jam 9 pagi, tapi Reza belum juga bangun. Kutatap secangkir teh yang sepertinya sudah dingin, kulirik roti tawar yang sudah kusiapkan di atas piring kecil, belum sama sekali tersentuh oleh si tuan rumah. Reza masih terlelap tidur, dan aku tidak tega membangunkannya. Sepertinya semalam ia bekerja sampai larut pagi. Entah benar-benar mengerjakan pekerjaannya, atau menghabiskan waktu menatapi jam dinding seperti yang biasa ia lakukan, tak sabar menantikan kelahiran anakku, dan melakukan sesuatu setelah itu.

Aku beranjak dari ruang makan menuju ruang televisi, duduk di sofa empuk dan meraih remote tivi. Hampir seluruh ruangan di rumah kami terguyur cahaya matahari pagi. Reza yang memilihkan rumah ini, dan aku sangat menyukainya. Dan juga sangat menyukai orang yang memilihkannya.

Hari ini hari minggu, dan aku suka hari minggu. Meski tidak ada istilah hari libur untukku, karena aku memang tidak bekerja. Tapi setiap akhir pekan, paling tidak Reza ada di rumah ini. Walaupun ia lebih memilih menghabiskan waktunya sendiri di ruang kerja dibanding duduk santai bersama istrinya, tidak apa-apa, paling tidak aku berada di bawah atap yang sama dengan suamiku.

Aku menekan tombol power pada remote tivi, dan menonton channel apa saja yang kudapati. Tak peduli apa acara yang muncul di televisi di depanku, toh aku menonton tivi hanya untuk menunggu Reza bangun.

Aku sedang tertawa melihat kucing yang gagal memukul tikus dengan tutup panci dan malah terkena anjing besar yang seketika mukanya menjadi merah karena marah saat Reza yang masih dengan piyamanya itu datang menghampiriku. Tidak terlalu lucu sebenarnya, hanya saja aku ingin tertawa untuk memastikan pada diriku sendiri bahwa aku terhibur.

Aku menoleh dan tersenyum. “Baru bangun?” tanyaku.

“Iya,” balasnya, sedikit kaku. Ia lalu duduk disampingku dan melihat kearah perutku yang semakin lama semakin membesar. “Kamu udah ngecek lagi?” tanyanya kemudian.

Aku melihat kearah yang sama dengan yang Reza lihat. Perutku. “Belum,” jawabku kemudian. Aku mengalihkan pandanganku ke wajahnya. “Jadwalnya besok,” tambahku.

Reza membulatkan bibir. “Sama siapa kesananya?” tanyanya kemudian.

“Mama paling, seperti biasa,” jawabku.

Kami terdiam, cukup lama. Suasana di ruangan ini lebih mirip ruang sidang dibanding ruang televisi sepasang suami-istri dengan seorang anak didalam kandungan. Kaku, hingga tanpa kusadari acara kartun di televisi sudah berubah ke program lain. Sebuah berita tentang mobil truk yang menabrak dua mobil sedan di jalan tol.

“Sudah dua bulan yang lalu ya,” ucapku tiba-tiba.

“Iya…” tanggap Reza, tanpa menoleh kearahku.

“Kamu gak bahagia sama pernikahan kita ya?” tanyaku seraya memandang wajahnya, hanya iseng sebenarnya, karna aku sudah mengetahui jawabannya.

“Gak,” jawab Reza lugas, sesuai perkiraanku. Ia menatapku, “Kamu sendiri?” tanyanya.

“Kalau begitu, kenapa kamu mau nikahin aku?” aku membalas pertanyaan Reza dengan pertanyaan baru.

Reza terdiam. Tak ada sepatahkatapun keluar dari bibirnya.

Aku menghela nafas. Mungkin memang tidak ada jawaban untuk itu, atau mungkin ada, tapi terlalu menyakitkan untuk kudengar. Aku berdiri, hendak pergi kedapur untuk mebuatkan teh hangat baru untuk Reza.

“Aku berhutang budi sama ayahnya,” ucap Reza seraya menunjuk perutku dengan tatapannya, setelah sesaat yang lalu meraih tanganku untuk menahan.

“Cuma karena itu?” tanyaku lagi.

“Dia kakakku, Lif,” jawabnya. Jawaban yang tidak sama sekali menjawab pertanyaan terakhirku.

Sejenak membisu, aku lalu menghempas tanganku pelan, melepaskan diri dari genggaman Reza. Hatiku kalut. Sekali lagi muncul pikiran itu, mungkinkah aku menikah dengan orang yang salah? Pikiran yang selalu sebisa mungkin kubuang jauh-jauh. Aku lalu pergi meninggalkan ruang tengah, bukan ke dapur, melainkan ke kamar. Aku tiba-tiba lupa dengan niatku membuatkan teh untuk Reza.

Tak berapa lama, Reza membuka pintu kamar saat aku tengah duduk bersama sunyi di tepi tempat tidur. “Kamu udah sarapan?” tanyanya.

Aku hanya menggeleng.

“Jangan sampe telat makan, kasian kandungan kamu,” ujarnya lembut. “Jangan terlalu banyak pikiran juga,” lanjutnya.

“Za,” aku memanggilnya, tak sama sekali memerdulikan kalimatnya barusan.

“Ya?” sahut Reza, masih dari depan pintu kamar.

“Kalo Riza gak meninggal karena kecelakaan itu, apa kamu akan nikahin aku?” tanyaku lagi. Aku baru sadar, untuk pertamakalinya aku menanyakan hal ini pada Reza.

Seperti biasa, Reza terdiam sesaat. “Riza nikah lari sama perempuan lain di hari pernikahan kalian,” paparnya. “Ini permintaan maaf aku untuk kejadian itu,” jelasnya, diiringi senyum getir. Ia lalu menutup pintu kamar dan meninggalkanku sendiri seperti sebelum ia datang.

Aku memejamkan mata. Mencaci dan menghujat diriku sendiri dalam hati. Aku merasa seperti orang paling bodoh di seluruh dunia. Aku seperti manusia paling egois. Picik. Licik. Dan munafik.

***

Malam ini, entah apa yang tejadi padaku. Aku ingin berdansa bersama suamiku. Kutarik tangannya dan kubawa ia keluar dari ruang kerjanya, menuju ruang tamu. Kuputar musik Coeur Volant hasil garapan Howard Shore. Sebuah musik Prancis yang sangat indah. Aku meraih tangannya, dan berdansa. Ia mengikuti semua gerakanku tanpa protes, meski kutau ia tidak menikmati dansa ini.


Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. “Waktu itu kamu pernah nanya, apa aku bahagia dengan pernikahan kita, kan?” tanyaku. “Aku bahagia, beneran deh,” jawabku kemudian, dan tanpa bisa megendalikan air mata.

Sepertinya Reza bisa merasakan piyamanya basah karena airmataku. “Kamu gak usah bohong,” ujarnya, sambil terus bergerak mengikuti alunan musik.

Aku menghela nafas. “Dari satu sampai sepuluh, angka berapa yang kamu berikan untuk pernikahan kita?” tanyaku.

Reza terdiam, entah berpikir atau memang tidak mau menjawab. Aku terdiam. Musik terus mengalun, menyelimuti kekakuan yang ada diruang dansa yang aneh ini.

“Nol,” tiba-tiba ia menjawab.

Jawaban yang jauh lebih buruk dari perkiraan apapun yang pernah terbesit dalam pikiranku. Aku tersenyum pahit, benar-benar pahit. Dan sakit.

Dan airmataku semakin tak terkendali.

***

Sore, matahari menyeruak masuk ke jendela kamarku yang mengarah ke barat. Sinar jingga terasa menyentuh pipi sebelah kananku saat aku duduk di tepi tempat tidur sambil menatapi jam weker digital yang semakin hari semakin cepat berganti angka. Bisakah waktu berjalan lebih lambat? Bisakah aku membuat Reza mencintaiku sebelum bayi ini lahir dan ia menceraikanku? Aku tidak pernah mendengar Reza merencanakan itu, tapi aku mengerti. Apa yang diharapkan laki-laki yang menilai pernikahannya dengan angka ‘nol’ selain perceraian?

Aku lalu mengalihkan pandanganku kearah figura yang terpampang di dinding, foto pernikahanku dengannya. Aku baru mengenalnya beberapa bulan lalu, saat Riza memperkenalkanku kepada seluruh anggota keluarganya. Riza adalah laki-laki yang baik, sabar, dan penuh tanggungjawab, dan begitulah aku menilai Reza saat pertama kali kami bertemu. Karena mereka adalah saudara kembar.

Aku, tiba-tiba saja teringat hari itu, hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, aku dan Riza. Aku duduk di hadapan Riza yang saat itu sangat tampan mengenakan pakaian pengantin. Kupandangi wajahnya lamat-lamat, dan kutatap matanya dalam-dalam. Aku menghapus butiran yang jatuh dari mata sembabnya. Ya, satu hal yang sangat tidak kusuka dari orang ini, cengeng.

“Masa pengantin nangis,” ujarku seraya mengambil bedak untuk melapisi pipi Riza yang make up nya luntur karena air mata.

Riza tertawa kecil. “Kamu cantik, Lif, pake baju pengantin,” ucapnya sambil memandangiku dengan sinar mata yang sangat hangat.

“Kamu juga ganteng,” balasku.

Kami terdiam sejenak, menikmati waktu bersama yang mungkin untuk terakhirkalinya di ruangan ini. Ruangan dengan cahaya remang tempat aku menangisi kehamilanku beberapa minggu yang lalu. Dan tempat peristiwa memalukan itu terjadi. Kamar kos Riza. Setelah ini kami akan memiliki rumah baru, bukan? Ya, begitulah cerita pengantin baru. Rumah baru. Dan mungkin aku tidak akan menginjak tempat hina ini lagi.

“Za,” panggilku, memecah irama sepi.

“Ya?” tanggap Riza.

“Satu sampai sepuluh, seberapa besar rasa sayang kamu ke aku?” tanyaku.

Riza tersenyum. “Apa perlu aku jawab itu?” tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya.

Aku hanya menunduk. Malu, entah karena apa.

“Lif, kapanpun kamu ngerasa gak bahagia, kamu akan cari aku kan?” Riza bersuara lagi.

“Kamu mau aku gak bahagia?” tanyaku membalas pertanyaan Riza.

Riza tertawa kecil. “Bukan gitu,” sangkalnya. “Lif, walaupun aku sama Reza itu saudara kembar, tapi kita beda. Yaaa… mungkin sifatnya emang kurang lebih sama sih, tapi untuk perasaan…” Riza menghentikan kalimatnya.

Aku menatap Riza, menunggu lanjutan ucapannya.

“Reza belum tentu bisa ngelindungin kamu kayak aku ngelindungin kamu, dia belum tentu bisa jaga kamu, karena dia belum tentu bisa sayang sama kamu sebesar aku sayang sama kamu,” papar Riza, mengulang kalimat yang pernah ia ucapkan beberapa waktu lalu. Matanya, lagi-lagi berair.

Aku menyeringai sambil menertawakan omongan sampah itu dalam hati. Melindungi, katanya?

“Kalau bukan karena kamu bilang kamu benci sama aku dan gak rela punya suami yang udah pernah ngotorin dan ngancurin hidup kamu, aku gak akan pernah setuju sama permintaan kamu untuk nikah sama Reza,” ujarnya lemah.

Aku terdiam, seperti sedang menanggung beban besar, tapi tak mengerti bagaimana bentuk beban itu.

Seseorang masuk tanpa mengetuk pintu kamar. “Za,” panggil perempuan yang berpakaian hampir sama denganku itu. Perempuan yang kukenal sebagai mantan kekasih Riza. Perempuan yang sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan laki-laki didepanku, tapi kemudian berpisah setelah Riza mengenalku dan memutuskan untuk menjalin kisah baru bersamaku.

Riza berdiri. “Aku ke KUA duluan ya, Lif,” ucapnya.

Aku berdiri, diam dan tak berani menatap mata siapapun.

“Setelah kejadian ini, aku jamin Reza akan nikahin kamu,” ucapnya sambil tersenyum semu. “Tapi aku gak jamin dia bisa ngebahagian kamu, Lif. Karena kami beda. Kami bukan satu, tapi kami dua. Dua orang berbeda dengan dua hati yang juga berbeda,” lanjut Riza, ia kemudian melangkah meninggalkanku dan menghampiri perempuan perpakaian pengantin di depan pintu.

Tiba-tiba Riza meghentikan langkahnya. “Mencintai itu tidak mudah. Dan mencintai orang yang tidak mencintai kita itu sangat tidak mudah. Semoga kamu bahagia, Lif,” paparnya. “Selamat atas pernikahan kamu, dan jaga baik-baik anak kita,” tambahnya tanpa sedikitpun menoleh apalagi memutar badan.

Aku masih duduk terdiam di tepi tempat tidurku. Matahari senja yang tadi menyinari wajahku, perlahan berpamitan. Tiba-tiba aku teringat kecelakaan itu, kecelakaan yang menewaskan Riza dan calon istrinya dalam perjalanan menuju KUA –yang sampai sekarang aku tidak tau apa mereka benar-benar akan menikah atau hanya pura-pura. Dan tak bisa dihindari, ingatanku beranjak ke hari itu, tiga hari setelah kecelakaan itu. Hari pernikahanku dengan Reza. Hari dimana aku resmi menerima kutukan atas keegoisan, kejahatan dan kebodohan diriku sendiri.

Benar, orang yang tidak baik tidak akan berjodoh dengan orang baik.

7 comments:

  1. jauh melebihi ekspektasiku. keren, sedih dan pedihnya kerasa bangettt.
    gila. aku bahkan ga pernah ngebayangin apa yang ada di dalam kepala Alifa dan kamu bener2 ngejadiin cerita NOL dan BUKAN SATU ini menjadi SATU CERITA UTUH. gilaaa!!!

    I love this very very much, indeed. apalagi kata-kata terakhirnya "orang yang tidak baik tidak akan berjodoh dengan orang baik."

    VERY WELL DONE!

    ReplyDelete
  2. Asik Kal dikasih tantangan kayak gini :)))
    Makasih pancingan inspirasinya.


    Kalimat terakhir itu justru tadinya gak ada, tapi pas detik2 terakhir mau aku post, tiba2 iseng aja nulis kayak gitu. haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. asik -_- haha.
      ini proyek duet kedua kita ya! haha.

      kata2 terakhirnya memorable dan cerita ini masih bisa dieksplor lebih luas kayanya.

      btw dari spin off cerita2ku, aku tinggal nunggu ka gia -_-

      tinggal unstoppable nitemare ni... wuahahha

      Delete
    2. Aku sebenernya ragu ngasih yang Unstopable Nightmare Kal soalnya itu romance banget bener2 romance hahaha bukan genre kamu.

      Delete
    3. Emang genre aku yg sekarang bukan romance ya? Haha

      Delete

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.