Saturday, February 18, 2012

DENDAM


Jangan salahkan aku jika sekarang aku mencintainya. Kau yang mengenalkan Tifara padaku, Gira. Kau pasti tak menyangka bahwa kau adalah sumber kekacauan hidupku. Karena dirimu, aku hancur. Bayangkan, aku mencintai gadismu. Aku mencintai kekasih shahabat baikku. Dan cintai itu benar-benar membuat aku gila. Bayangkan!



Awalnya, memang, kurasa aku hanya mengagumi wajah cantik dan sikap ramahnya. Fara sangat menyenangkan. Ya, kurasa aku hanya mengaguminya. Pasti hanya mengaguminya, tak mungkin lebih. Berjuta kali kuyakinkan diriku sendiri, aku tak mungkin merasakan perasaan semacam itu. Tapi semua terasa sangat berbeda saat kau menyuruhku menemaninya ke sebuah pentas drama musikal. Kenapa kau memintaku, Gira? Kenapa? Jika kau memang benar-benar sibuk, kenapa kau tidak membiarkannya datang sendiri? Atau, apa kekasihmu itu tidak punya teman untuk menemaninya? Kenapa harus aku?

Kau tau, Fara sesekali melihat kearahku sambil tertawa renyah saat sesuatu yang lucu terjadi diatas panggung. Matanya, kau pasti tau, matanya bahkan lebih indah dari puisi-puisi yang pernah kau pamerkan padaku. Dan senyumnya, Gira, senyumnya! Kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku kalau kau pernah ke surga? KAU MENEMUKAN GADIS INI DISUDUT SURGA BAGIAN MANA? Ah, Gira, kau sungguh mencelakaiku.

Aku benar-benar tidak tau bagaimana jalan cerita pertunjukkan itu, aku sibuk menatap gadismu, aku sibuk mengatur detak jantungku, aku sibuk mengendalikan perasaanku. Sesekali aku berteriak dalam hati, tidak mungkin, aku tidak mungkin benar-benar mencintainya. TIDAK BOLEH. Dan saat drama itu menunjukkan sisi melankolisnya, Fara menitikkan air mata. Sangat menghayati. Dan aku… ingin sekali aku menghapus air matanya, menggenggam tangannya, membiarkan kepalanya bersandar dibahuku, dan membelai rambut hitam panjangnya. TAPI APA AKU BOLEH MELAKUKAN ITU, GIRA? APA BOLEH?

Dan kau terus menyiksaku setiap kali memintaku untuk ikut menghabiskan akhir pekan bersama kalian. Dilema. Aku sunguh tidak kuat jika harus melihat kalian bermesraan. Tapi mana bisa aku menolak untuk menghabiskan waktu bersamanya? Baiklah, aku hitung ini sebagai pengorbanan. Satu sisi hatiku perih teriris rasa cemburu, namun sisi yang lain dipenuhi rasa hangat setiap kali melihatnya tertawa. Saat ia membelikan eskrim untukku, saat ia meledekku, dan bahkan ia merangkulku dengan akrab. Mungkin Fara menganggapku hanya teman baiknya, karena aku teman baikmu. Tapi setiap detik yang kulalui bersamanya, semua sangat berarti. Dan tidak pernah berhasil kuhapus, sekuat apapun usahaku.

Lebih sial dari semua malapetaka itu, entah apa alasannya, Fara sangat peduli padaku. Setiap kali aku mengeluh di akun jejaring sosialku, ia selalu menghubungiku. Bertanya apakah aku baik-baik saja, masalah apa yang sedang kuhadapi, dan perhatian lain. Kau bilang, Fara memang peduli pada teman-temannya, persetan, aku tetap merasa menjadi orang yang istimewa untuknya. Ya, meskipun tak seistimewa dirimu. Ia sering, oh tidak, tapi sangat sering mengatakan padaku bahwa ia sangat mencintaimu, tak pernah menemukan laki-laki sesempurna dirimu, dan bahwa kau adalah tujuan akhir hidupnya. Kau bisa bayangkan seberapa panas hatiku saat mendengar semua itu. Tidak, kau tidak akan bisa membayangkannya. Kadang, ia juga bertanya padaku, kenapa aku tidak menerima orang-orang yang mendekatiku. Kenapa aku masih sendiri. Aku hanya tertawa. Kukatakan padanya, aku bisa membuat siapa saja mencintaiku, jika aku mau. Kutegaskan, jika-aku-mau.

Kau pasti tidak tau bahwa cintanya sedahsyat itu padamu. Sampai-sampai hari itu bisa terjadi. Hari yang membuat aku sangat membencimu. Mungkin kebencianku padamu tak terlalu jauh dengan rasa sayangku pada kekasihmu. Aku sangat membencimu, Gira. Lebih dari apapun. Kau menyakitinya. Menyakiti gadis kesayanganku.

Dua tahun sudah kau menjalin kasih dengannya, dan kau memutuskan hubungan itu satu bulan sebelum hari pertunanganmu. Dimana otakmu, Gira? DIMANA PERASAANMU? Dengan mudah kau bilang, kau akan menikah dengan orang lain. SETAN. Kenapa kau tega menyakiti malaikat itu?

Aku melihatnya. Fara berdiri sambil menahan isaknya. Air mata menggenangi kantung matanya. Jelas betul ia menahan tangis. Kurasa, tubuhnya tak terkendali lagi. Ia susah payah menahan dadanya yang sesak dan dengan sangat lirih, ia mengatakan “Aku gak apa-apa, kok.” sambil sekuat mungkin menunjukkan senyumnya. Senyum yang sangat menyakitkan. Dan kau pergi meninggalkannya. Kau, pergi. Percayakah kau, Gira, bahwa orang yang tadi berdiri didepanmu itu baik-baik saja? Kau percaya? Demi langit dan bumi beserta seisinya, kau adalah laki-laki terjahat yang pernah kukenal. Aku sangat membencimu, Gira. Tak peduli seberapa dekat kita dulu. Tak peduli kita selalu menghabiskan waktu bersama sejak kecil. Tak peduli seberapa akrab orangtuaku dan orangtuamu. Aku-sangat-membencimu.

Aku mencintai Fara, namun tak pernah sedikitpun berharap kalian berpisah. Aku mencintai Fara dengan segala resiko yang telah dan akan kuterima. Aku tau, aku tak akan memilikinya seperti dirimu. Aku sadar. Dan aku tak pernah membayangkan hari itu akan terjadi. Jika saja kau tau, Fara hanya memilikimu dalam hatinya. Kau satu-satunya laki-laki yang ia cintai. Tapi, apa-apaan semua ini? Bajingan. Inikah balasanmu? Balasan untuk sebuah ketulusan?

Aku mendekati Fara saat itu, saat ia menyendiri dalam perihnya. Ia memukul-mukul dadanya yang sesak. Isaknya mulai terdengar, sangat lepas, setelah harus menahan semua itu didepanmu. Ia bahkan tak ingin kau melihatnya menangis. Hatinya, pasti lebih sakit dari rasa sakit apapun yang pernah kurasakan. Sedikit ragu, aku menghampirinya. Perlahan, dari belakangnya. “Fara…” serak-serak, aku memanggil namanya. Dia berbalik, menatapku sesaat sebelum setelah itu memelukku. Pelukan yang sangat erat. Dan air matanya, bisa kurasakan menetes dibahuku. Semua sakit dihatinya seakan mengalir kehatiku. Perih. Pasti sangat perih ada diposisinya saat itu.

***

Enam bulan berlalu, dan aku masih membencimu. Tak sama sekali berkurang, meskipun kutau kau melakukan itu karena alasan tertentu. Karena aku juga tau, disamping semua alasan itu, kau memang tidak benar-benar mencintainya. Dan ia terlalu lemah untuk menerima bahwa kau akan menikah dengan wanita yang dipilihkan kedua orangtuamu. Gadis kesayanganku itu ternyata sangat bodoh. Ia rela menyiksa hidupnya sendiri hanya karena laki-laki brengsek sepertimu. Sampai sang hidup penat, dan melarikan diri dari raganya. Orang tua Fara pasti akan membunuhmu, jika saja mereka bukan orang-orang berhati malaikat seperti putri mereka.

Kemarin, aku mengunjungi Fara. Seperti biasa, membersihkan makamnya. Aku tak ingin ada kotoran apapun di rumah peristirahatannya itu. Hari itu, aku juga mengatakan padanya, bahwa aku akan membuatnya bangga. Aku akan menghancurkan hidup orang yang telah menghancurkan hidupnya. Aku akan membuatnya merasakan perih seperti yang ia rasakan dulu. Atau mungkin lebih dari itu. Aku akan membalaskan dendam Fara, meskipun kutau, gadis berhati baik sepertinya tidak akan memiliki rasa dendam seperti yang kumiliki.

Hari ini, aku berdiri disebuah kamar pengantin yang sangat indah. Putih, bersih, dan harum. Bunga-bunga bertaburan diatas tempat tidur. Lagu romatis terdengar menggema sangat merdu dari ruang tengah yang mulai dipenuhi keluarga besar dan beberapa tamu undangan. Kulihat bingkai foto besar didinding, foto shahabatku, Agira Ditra Pandawa, bersama seorang wanita yang kutau, sangat ia cintai, calon pengantinnya. Ada perasaan aneh saat melihat foto itu. Mungkin karena ukurannya yang terlalu besar. Atau mungkin karena aku benar-benar muak melihat senyummu, Gira. Lalu, kubelokkan pandanganku, disebelah kanan, kulihat foto si brengsek itu dengan balutan pakaian pengantin mewah, sendiri. Sangat tampan, jika saja dia bukan orang yang kubenci.

Kalau saja Fara masih ada, pasti sangat berat melewati hari ini. Tenang, aku akan membuat hari ini tidak seberat yang seharusnya. Meskipun ia sudah tiada.

Kubuka jendela dan kubiarkan angin membelai wajahku. Sejuk, seharusnya, namun terasa pasi untukku. Kulihat sebuah taksi berhenti didepan gerbang belakang, menungguku. Dengan yakin, aku melompati jendela dan berlari melewati taman belakang yang –kukira- sepi dan langsung masuk kedalam taksi.
Jantungku berdegup sangat cepat. Untunglah, aku sudah menyuruh sopir taksi didepanku untuk menginjak gas dan melaju secepat mungkin, sebelum beberapa detik setelah itu, tukang kebun yang ternyata melihatku masuk kedalam taksi berteriak, “TUAN, PENGANTIN PEREMPUAN MELARIKAN DIRI!”

4 comments:

About Me

My photo
Tangerang, Banten, Indonesia
bukan penulis, bukan pengarang, hanya pecinta keduanya.